RSS

Beberapa Ketentuan Pemberian THR bagi Pekerja berdasarkan Permenaker No. 6 Tahun 2016.

 
Leave a comment

Posted by on 29 May 2022 in Tak Berkategori

 

Comparison between PKWT & PKWTT based on Labor Law updates.

 
Leave a comment

Posted by on 29 May 2022 in Tak Berkategori

 

Hukum Kontrak: Format Kontrak Bisnis (Ringkasan Buku: Ricardo Simanjuntak. Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Jakarta: Kontan Publishing. 2011)

Kontrak tidak mepunyai format tertentu

            Kontrak tidak dipersyaratkan untuk harus dihadirkan dalam bentuk tertentu. Justru kontrak memiliki prinsip keterbukaan yang terbangun dari suatu kebebasan para pihak yang berkontrak tersebut untuk mewujudkannya. Berdasakan pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata dengan tegas diatur bahwa kebebasan berkontrak tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk dan cara apapun sepanjang kontrak tersebut dibangun berdasarkan suatu kesepakatan yang dicapai dengan cara yang benar dan sehat oleh pihak-pihak yang memiliki kewenagan untuk itu, kesepakatan tersebut haruslah mengenai suatu hal yang jelas dan mungkin untuk dilaksanakan serta mepunyai klausa yang halal.

            Dalam praktek, formalitas dari perancangan suatu kontrak sangat sering dipengaruhi oleh tempat, keadaan, kesiapan, termasuk juga jumlah nilai yang akan disepakati para pihak yang akan berkontrak. Secara logika hukum, kontrak-kontrak sederhana mungkin dapat dilakukan secara lisan ataupun dengan sekedar dituliskan dalam secarik kertas dan apabila suatu hal terjadi sengketa dikemudian hari yang harus diselesaikan di depan pengadilan, langkah-langkah pembuktian masih dapat digunakan dengan cara yang sederhana lainnya atau dengan menggunakan pembuktian selain perjanjian kontrak, misalnya dengan menghadirkan saksi, seperti yang diatur dalam pasal 1866 kitab undang undang hukum perdata.

            Dari penjelasan di atas, kontrak dapat dihadirkan dengan kesepakatan-kesepakatan yang diperoleh secara bebas, walaupun pada prinsip dasarnya dapat dihadirkan melalui kesepakatan lisan. Akan tetapi, dengan pertimbangan untuk tertib administrasi dan untuk kepentingan pembuktian, maka para pihak memilih untuk membuat kontrak dalam bentuk tulisan. Selain itu ada juga kontrak yang tidak cukup hanya di bawah tangan, tetapi harus dilakukan di depan Notaris Publik, ataupun kontrak-kontrak yang telah disepakati baik secara tertulis maupun di bawah tangan ataupun dengan akta notaris, kesepakatan yang telah dibuat secara sah tersebut masih belum berlaku efektif dan mengikat sebelum mendapatkan ijin pelaksanaan dari otoritas yang berwenang.

Kontrak tertulis untuk kepentingan tertib administrasi dan kepentingan pembuktian

            Komitmen, kejujuan dan pertanggungjawaban moral merupakan kunci utama dari keberhasilan pelakasanaan suatu kontrak. Secara umum, kontrak lisan mempunyai kekuatan  hukum yang sama dengan kontrak tertulis. Dalam pasal 1320 kitab undang-undang hukum perdata ditegaskan bahwa yang menjadi ukuran terhadap keabsahan suatu kontrak, menurut hukum indonesia, adalah apabila telah memenuhi empat persyaratan fundamental (yang terdiri dari dua syarat subjektif dan dua syarat objektif) yaitu adanya kesepakatan antara para pihak yang berkontrak, para pihak tersebut cakap untuk membuat suatu kontrak, hal yang di perjanjikan dalam kontrak tersebut jelas dan klausul dari perjanjian tersebut halal.

            Prinsip konsensualitas pada kontrak sangat menjunjung tinggi kejujuran dan sikap gentlement dari kedua belah pihak yang berkontrak untuk saling melaksanakan prestasi yang telah disepakati bersama. Namun, walaupun secara umum kontrak lisan mempunyai keberlakuan hukum yang sama dengan kontrak tertulis, pada dasarnya kontrak tersebut akan menyimpan resiko ketidakpastiaan hukum, khususnya dalam hal terjadinya permasalahan yang membuat kedua belah pihak yang berkontrak harus menyelesaikannya melalui pengadilan dan persoalan pembuktian akan menjadi sesuatu hal yang sangat penting. Kendati menurut pasal 1866 kitab undang-undang hukum perdata, diberikan alternatif pembuktian antara lain menghadirkan saksi, atau dengan menggunakan persangkaan-persangkaan ataupun sumpah. Tapi, hal itu tidak mudah dilakukan, khususnya dalam kontrak-kontrak yang dibuat untuk kesepakatan bisnis yang bernilai besar dan rumit.

            Selain untuk kepentingan pembuktian para pihak berkontrak membutuhkan kontrak dalam bentuk tertulis untuk alasan tertib administrasi. Dalam hal yang melakukan kegiatan berkontrak tersebut adalah badan usaha yang berbentuk korporasi misanya PT (perseroan terbatas), keharusan untuk mendokumetasikan aktivitas-aktivitas hukumnya ataupun aktivitas bisnisnya adalah merupakan suatu keharusan yang dimaksudkan oleh undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

            Selain dari alasan administrasi ataupun pembuktian, memang ada juga kontrak yang secara undang-undang hanya dapat berlaku dan megikat bila dibuat secara tulisan, yang artinya kontrak tersebut dianggap tidak pernah ada ketika hanya disepakati secara lisan, walapun pihak pihak tersebut memastikan bawa dalam hal pembuktian mereka dapat menghadirkan bukti-bukti pendukung sehubungan dengan kesepakatan tersebut, misalnya dengan menghadirkan saksi-saksi atau alat bukti lainnya.

Kontrak Tertulis Hukum Berlaku Khusus Bagi Para Pihak

Di dalam KUHPerdata tersebut secara khusus membangun ketentuan-ketentuan untuk aktifitas-aktifitas kontrak yang ketentuan kontrak tersebut lebih dikenal dengan “perjanjian bernama”, yaitu : perjanjian jual-beli (1457-1546), perjanjian tukar menukar (1541-1546), perjanjian sewa menyewa (1548-1600), perjanjian untuk melakukan pekerjaan (1601-1617), perjanjian tentang perekrutan (1618-1652), perjanjian perkumpulan (1653-1665), perjanjian tentang hibah (1666-1693), perjanjian penitipan barang (1694-1739), perjanjian pinjam-pakai(1740-1753), perjanjian pinjam-meminjam (1754-1769), termasuk juga perjanjian asuransi yang diatur dari pasal 246-308 KUH Dagang, serta perjanjian pengangkutan (466-754 KUH Dagang)

Dengan diaturnya secara khusus ketentuan-ketentuan berkontrak untuk aktifitas tertentu, maka demi hukum pasal-pasal dalam perjanjian bernama tersebut menjadi ketentuan yang otomatis berlaku dan mengikat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian.

Berkaitan dengan perjanjian bernama tadi ada 2 persoalan yang perlu diperhatikan sehubung dengan keterbatasan tentang hukum perikatan dalam KUHPerdata guna mengantisipasi perkembangan bisnis yang begitu cepat, yaitu :

  1. Tidak semua ketentuan dalam perjanjian bernama tersebut telah secara lengkap menjelaskan ketentuan–ketentuan tentang perjanjian–perjanjian yang telah diaturnya
  2. Perkembangan jaman serta pertumbuhan teknologi yang sangat pesat membuat aktifitas bisnispun juga tumbuh dan semakin rumit sehingga banyak dari aktifitas bisnis ataupun kontrak bisnis yang tidak lagi secara spesifik dikenal ataupun diatur dalam buku III KUHPerdata, contohnya perjanjian sewa guna usaha (leasing), perjanjian waralaba.

Kontrak tertulis karena Undang-Undang

Selain untuk kepentingan administrasi dan sebagai alat pembuktian di depan hakim, ada juga kontrak yang harus dibuat secara tertulis oleh undang–undang dan peraturan–peraturan yang berlaku dengan konsekuensi hukum bahwa kontrak tersebut akan dianggap tidak ada ataupun batal demi hukum bila dibuat secara lisan. Contohnya pasal 613 KUHPerdata yang dengan tegas mengatur bahwa dalam melakukan perjanjian pengalihan utang piutang atas nama dan kebendaan yang tidak bertubuh lainnya, maka perjanjian pengalihan tersebut harus dibuat secara tertulis baik dalam bentuk akta notaris ataupun perjanjian di bawah tangan. Dengan pengertian lain tidak ada perjanjian pengalihan hak tagih piutang kepada orang lain (cessie) bila tidak dibuktikan dengan suatu perjanjian tertulis, baik itu dalam perjanjian akta notaris ataupun di bawah tangan.

  • Kontrak Yang Oleh Undang-Undang Wajib Dibuat Di depan Notaris Publik Dan PPAT
  1. Pasal 617 KUHPerdata tentang pengalihan hak atas benda tidak bergerak :

“Tiap-tiap akta dengan mana kebendaan tak bergerak dijual , dihibahkan, dibagi, dibebani atau dipindahkantangankan, harus dibuat dalam bentuk otentik, atas ancaman kebatalan”

  1. Pasal 12 PP No.10 Tahun 1961 tentang jual beli tanah:

“Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat yang ditunjuk oleh menteri Agraria”

  1. Pasal 10 (1) dan (2) UU No. 4 Tahun 1996 harus dibuat dengan akta PPAT tentang pembuatan perjanjian menjaminkan benda-benda tidak bergerak berupa tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan pembayaran utang kepada kreditur.
  • Pemberian hak tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian dari yang tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
  • Pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta pemberian Hak tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  1. Pasal 5 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999 tentang fidusia:

“Pembebasan benda dengan jaminan Fidusia dibuat dengan Akta Notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia”

Ketentuan-ketentuan khusus yang membatasi kebebasan para pihak untuk melakukan aktivitas berkontraknya, khususnya harus dibuat dalam bentuk akta notaris, adalah ketentuan-ketentuan yang bersifat imperatif yang bila tidak dipenuhi akan mengakibatkan batalnya kontrak yang bahkan secara formal telah disepakati tersebut, akibat bertentangan dengan undang-undang yang mengharuskannya. Sebaliknya, bila undang-undang tidak mengharuskan suatu kontrak dibuat dalam bentuk akta otentik, tidak ada alasan bagi seorang contract drafter untuk mengharuskan kontrak yang disepakati tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

  • Kontrak Yang Akan Berlaku Setelah Mendapat Persetujuan Pihak Otoritas

Dalam beberapa perjanjian, selain mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian tersebut tidak otomatis berlaku (unenforceable) sebelum mendapatkan persetujuan pelaksanaan aktivitas yang diperjanjikan dalam kontrak tersebut oleh penguasa (pemerintah) yang berwenang. Hal tersebut berhubungan dengan adanya persyaratan dari undang-undang atau peraturan yang mengatur aktivitas bisnis tersebut yang mewajibkan perjanjian atau kontrak yang disepakati tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pemerintah atau pihak berwenang.

Umumnya dalam melakukan aktivitas bisnis yang akan disepakati oleh para pihak, para pihak tersebut haruslah terlebih dahulu mengetahui bagaimana hukum ataupun perundang-undangan mengatur aktivitas bisnis tersebut di Indonesia. Hal itu sangat penting untuk memastikan bahwa kontrak yang akan dibuat tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku yang tentu saja dapat menimbulkan akibat batalnya kontrak tersebut.

Penafsiran Kontrak Bisnis

Kontrak pada dasarnya merupakan komunikasi hukum yang menggambarkan ikatan pemenuhan prestasi yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang terikat di dalamnya. Sebagai satu komunikasi hukum, harus dipastikan semaksimal mungkin bahwa masing-masing pihak yang berkontrak harus terlebih dahulu saling memahami maksud dan keinginan mereka, secara khusus untuk hal-hal yang untuk diperikatkan sebagai salah satu kewajiban hukum yang harus dipatuhi masing-masin pihak dalam kontrak tersebut.

Sehubungan dengan upaya untuk mencari pengertian yang sebenarnya dari suatu perbedaan tentang istilah yang dipergunakan dalam kontrak, selain dari ketegasan yang diambil pada pasal 1342 KUH Perdata, juga diatur tentang tata cara menerjemahkan ataupun penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang mempunyai pengertian yang dapat diperdebatkan, yaitu mulai dari pasal 1343-1350 KUHPerdata memberikan beberapa langkah untuk menafsirkan perjanjian, sebagai perjanjian :

  1. Jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilihnya berdasarkan maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan itu, daripada memegang teguh kata-kata menurut huruf
  2. Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian yang sedemikian itu, yang memungkinkan janji dilaksanakan daripada memberi pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan
  3. Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat persetujuan
  4. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat persetujuan tersebut telah dibuat
  5. Hal-hal yang menurut kebiasaan selama diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukan ke dalam persetujuan, meskipun tidak secara jelas dinyatakan
  6. Semua janji yang dibuat dalam suatu persetujuan, harus diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka persetujuan seluruhnya
  7. Jika ada keragu-raguan maka suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian orang lain yang mengingatkan dirinya untuk itu
  8. Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam suatu kontrak, namun persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh kedua belah pihak sewaktu membuat persetujuan

Sangat perlu kiranya dipahami secara khusus  tentang langkah penafsiran yang disebut dalam huruf (g) tersebut yang pada dasarnya merupakan ketentuan yang diatur dalam pasal 1349 KUH Perdata. Pasal tersebut menunjukan bahwa Hukum Perdata Indonesia mengenal doktrin “Contra Proferentem” meletakan beban yang lebih berat bagi pihak-pihak yang dalam aktifitas berkontrak dengan  mitra bisnisnya telah terlebih dahulu menyiapkan draf kontrak yang akan digunakan dalam setiap aktifitas bisnis dengan mitra-mitra bisnisnya.

  • Haruskah Kontrak Dibuat Dalam Bahasa Inggris?

Bahasa yang paling aman bagi para pihak yang berkontrak adalah bahasa yang paling dimengertinya. Artinya, bila para pihak yang berkontrak tersebut adalah orang Indonesia, seharusnya kontrak tersebut dirancang dalam bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia bahasa yang paling mudah dipahaminya.

Penggunaan bahasa inggris tanpa alasan yang mendasar, tidak hanya banyak dilakukan oleh pelaku usaha Indonesia saja, tetapi juga oleh Pemerintah Indonesia dalam banyak hal. contohnya: kontrak MSAA (Master Settlement Acquisition Agreement), MRNIA (Master Refinancing and Note Issuance Aggrement) yang merupakan suatu perjanjian damai penyelesaian pembayaran utang BLBI konglomerat (berbangsa Indonesia) dengan Pemerintah Indonesia yang ternyata ditulis dalam bahasa inggris. Padahal, sebagai suatu perjanjian yang disepakati oleh sesama warga negara indonesia tidak ada alasan untuk merancang kontrak tersebut dalam bahasa inggris. Akibatnya, seperti yang telah diduga, banyak permasalahan-permasalahan yang muncul dari ketidakjelasan yang muncul dari bahasa inggris tersebut.

Keharusan bahwa kontrak waralaba di Indonesia harus dibuat dalam bahasa Indonesia, lebih didasarkan pada upaya perlindungan para penerimaan hak waralaba (franchisee) di Indonesia, khususnya terhadap kerentanan pontensi konflik dari penggunaan istilah-istilah teknis yang cenderung masih asing (khususnya bagi penerima hak waralaba lokal) dari Intelectual Property Right yang telah dikemas dalam suatu cetak biru keberhasilan yang bernama waralaba tersebut.

Berdasarkan ketentuan Pasal 31 UU No. 24 Tahun 2009 bahwa keharusan untuk menggunakan bahasa indonesia dalam setiap aktivitas berkontrak tidak hanya diberlakukan terhadap lembaga negara ataupun instansi pemerintah Republik Indonesia akan tetapi terhadap seluruh warga negara Indonesia, baik lembaga maupun perorangan.

Unsur-Unsur Suatu Kontrak

Terjadinya suatu kontrak secara hukum harus memenuhi unsur-unsur yang dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok: unsur essensialia, unsur naturalia, dan unsur accidentalia.

3.9.1. Unsur Essensialia

Unsur essensialia suatu kontrak adalah unsur yang sangat penting dan mutlak harus dipenuhi untuk dapat dikatakan telah ada atau telah lahirnya suatu kontrak. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kejelasan dari apa-apa sebenarnya yang mutlak harus disepakati dalam suatu kontrak sehubungan dengan jenis aktivitas yang akan disepakati.

3.9.2. Unsur Naturalia

Unsur naturalia suatu kontrak adalah suatu perjanjian yang pada umumnya melekat diatur dalam undang-undang. Namun, keberlakuan unsur tersebut dapat dikesampingkan oleh para pihak yang berkontrak melalui suatu kesepakatan yang tegas untuk mengesampingkan keberlakuannya.

3.9.3. Unsur Accidentalia

Unsur accidentalia adalah unsur yang pada dasarnya menggambarkan keterbukaan dari suatu kontrak dalam mewujudkan prisnsip kebebasan berkontrak bagi para pihak. Para pihak dalam hal ini dapat memperjanjikan hal-hal yang telah disepakati bersama dan menuangkannya dalam kontrak, walaupun hal-hal yang disepakati tersebut tidak secara tegas diatur dalam undang-undang yang telah ada, sepanjang bentuk-bentuk kesepakatan tersebut tetap memenuhi dasar dari persyaratan keabsahan suatu kontrak berdasarkan pasal 1320 KUH.Perdata.

Subjek dan objek dari kontrak

3.10.1  Subjek Kontrak

Subjek dari suatu kontrak adalah para pihak yang menyepakati kontrak tersebut sehingga oleh karenanya menjadi terikat dan bertanggung jawab terhadap pemenuhan kewajiban dalam poin-poin perikatan yang telah disepakatinya dalam kontrak tersebut.

Subjek kontrak dapat berupa subjek hukum pribadi (personal entity) ataupun subjek hukum korporasi (legal entity ataupun corporate entity) baik secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama.

  • Subjek kontrak perorangan (personal entity)

            Hukum kontrak mensyaratkan bahwa subjek dari kontrak adalah subjek hukum pribadi (personal entity), subjek hukum tersebut harus telah dewasa (majority). Jika subjek kontrak perorangan tersebut belum dewasa (minority), kontrak tersebut dapat dibatalkan (voidable).

  • Subjek kontrak badan hukum (legal entity)

Subjek kontrak, selain dari perorangan, juga dilakukan oleh orang korporasi, atau badan hukum (legal entity). Sebagai badan hukum, perlu diperhatikan keabsahan dari status badan hukum itu sendiri dan telah mendapat persetujuan dari departemen kehakiman dan HAM. Tidak adanya persetujuan dari departemen kehakiman dan HAM terhadap status badan hukum yang dimiliki subjek berkontrak akan mengakibatkan dapat dibatalkannya kontrak tersebut sebagai konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya kapasitas berkontrak.

  • Subjek kontrak, kumpulan orang ataupun persekutuan perdata

Pihak-pihak berkontrak minimal dua orang. Dalam KUHPerdata dan KUHDagang, dikenal istilah persekutuan perdata (maatschaap), firma, dan CV ataupun persekutuan komanditer. Persekutuan ini disebut juga dengan badan usaha yang tidak berbadan hukum.

Selain dari bentuk-bentuk persekutuan perdata yang dikenal dalam KUHPerdata dan KUHDagang tersebut, juga ditemui banyak bentuk-bentuk persekutuan perdata lainnya, yang muncul dari bentuk-bentuk partnership asing, yang dikenal dengan nama-nama seperti : syndication, joint operation (JO), club deal, consortium group dan lain-lain.

  • Selain kewenangan hukum, perlu juga kiranya dicermati kapasitas finansial dari mitra berkontrak.

            Pembayaran ganti rugi yang dialami salah satu mitra berkontrak akibat dari wanprestasi yang dilakukan oleh mitra berkontrak lainya, akan dinilai dalam bentuk uang yang akan dibayarkan dari seluruh harta pihak wanprestasi tersebut, baik dari hartanya yang telah ada maupun yang masih akan ada kemudian hari, sampai seluruh kewajiban pembayaran kerugian tersebut dapat seluruhnya dilunasi. Hal tersebut secara tegas diatur dalam pasal 1131 KUHPerdata, yang menyatakan sebagai berikut:

            “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada mapupun yang baru akan ada kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”

            Pasal 1131 ini merupakan salah satu pasal yang sangat penting dipahami oleh seseorang contract drafter. Artinya status finansial dari calon mitra berkontrak akan sangat penting diketahui untuk memberikan dua sasaran berkontrak:

  1. Dengan reputasi yang baik dan kemampuan finansial yang cukup akan semakin memperbesar bonafiditas dari calon mitra berkontrak tersebut, dalam kemampuanya untuk melaksanakan seluruh poin-poin perikatan dalam bentuk kontrak sesuai dengan yang telah disepakati.
  2. Bilapun nantinya, mitra berkontrak tersebut ternyata ingkar janji ataupun wanprestasi dalam melaksanakan kewajibanya, maka paling tidak dalam upaya menuntut ganti kerugian akibat dari wanprestasi tersebut, harta dari pihak wanprestasi tersebut cukup untuk melunasinya.

            Dengan begitu, sangat perlu untuk mendapatkan kepastian tentang kondisi finansial (condition of economic) dari calon mitra berkontrak tersebut, khususnya dalam hal memberikan kepercayaan kepadanya dalam bentuk pemberian pinjaman, pemberian proyek borongan, pemberian investasi, ataupun bantuan finansial lainya.

3.10.2. Objek Kontrak

            Objek kontrak adalah prestasi (performance) yaitu berupa suatu tindakan dalam pelaksanaan kewajiban untuk memberikan/menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu bagi kreditur maupun debitur ssebagai pihak-pihak yang terikat dalam pelaksanaan suatu kontrak.

Sesuai dengan syarat keabsahan dari suatu kontrak berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata, kejelasan terhadap objek perjanjian ini merupakan suatu syarat yang mutlak harus dipenuhi, yang konsekuensinya mengakibatkan kontrak yang telah ditandatangani tersebut batal demi hukum (void) bila objek dari kontrak tersebut tidak dengan tegas dan jelas diperjanjikan.

Pelaksanaan Prestasi hanya mengikat pihak-pihak yang berkontrak

Pada prinsipnya kontrak hanya mengikat para subjek-subjek kontrak yang menyepakatinya. Suatu kontrak tidak dapat memberikan keuntungan ataupun sebaliknya membebankan kerugian kepada pihak ketiga yang tidak ikut dalam perjanjian tersebut, kecuali bila kontrak tersebut memang mengatur pemberian hak tersebut kepada pihak ketiga. Ketentuan ini juga diatur dalam pasal 1340 KUHPerdata, yaitu : “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ke tiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317”.

Pasal 1340 KUHPerdata tersebut merupakan penegasan kekuatan hukum mengikat yang telah dinyatakan dalam pasal 1338 KUHPerdata terhadap pihak-pihak dalam kontrak yang sangat penting untuk dipahami dalam perancangan kontrak.

Walaupun begitu, ketegasan dari prinsip bahwa kontrak tersebut hanya mengikat pihak-pihak yang menyepakatinya seperti yang diatur dalam pasal 1340 tersebut, dapat dikembangkan kepada pihak ketiga sepanjang para pihak dengan tegas menyepakati hal tersebut seperti yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata, yang dikutip sebagai berikut: “Lagi pula diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat janji yang seperti itu”.

Pasal ini menunjukkan bahwa sepanjang para pihak berkontrak tersebut secara tegas menyetujui keterlibatan pihak ketiga terhadap pelaksanaan dari kontrak yang disepakati oleh mereka, pihak tersebut akan terikat untuk mendapatkan keuntungan dari kontrak tersebut, dan bahkan sebaliknya, juga dapat terikat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diatur dalam kontrak dimana dia secara formal tidak menjadi pihak.

 
Leave a comment

Posted by on 17 July 2018 in Tak Berkategori

 

Hukum Laut – NEGARA DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF DAN PENGATURAN MENGENAI ILLEGAL FISHING

Latar Belakang

Laut merupakan sumber kehidupan di dunia. Laut membentuk iklim, sumber makanan bagi dunia, dan membersihkan udara yang kita hirup. Laut sangat vital bagi kehidupan ekonomi, dan menjadi tempat transportasi kurang lebih 90% perdagangan global, tempat meletakkan kabel bawah laut, dan menyediakan sepertiga sumber hidrokarbon tradisional juga energi terbarukan seperti ombak, angin dan energi pasang-surut.

Dalam sejarah Zona Ekonomi Eksklusif, awalnya negara-negara berkembang yang berpantai telah lama merasakan bahwa kebebasan di laut yang digembor-gemborkan oleh negara-negara maritim besar hanyalah semata-mata untuk mempertahankan kepentingan negara-negara tersebut. Dalih kebebasan di laut hanya suatu cara yang elegan untuk memberikan semua hak kepada negara-negara yang memiliki armada laut dan teknologi tanpa memperhatikan kepentingan-kepentingan negara-negara pantai yang sedan berkembang. Ketidakadilan inilah yang mendorong negara-negara berkembang untuk melakukan tuntutan-tuntutan dan merombak ketentuan-ketentuan hukum laut yang lama.

Bila selama ini dengan dalih kebebasan di laut kapal-kapal penangkap ikan negara-negara maritim besar mengarungi semua lautan dan samudera dan melakukan kegiatan-kegiatannya di laut-laut dekat perairan nasional negara pantai, selanjutnya negara-negara pantai tersebut karena merasa lebih berhak dari negara-negara lain telah memutuskan untuk mencadangkan kekayaan-kekayaan lau yang berdekatan dengan perairannya untuk kesejahteraan rakyat mereka.

Dorongan negara-negara berkembang yang berpantai untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya telah diwujudkan oleh negara-negara tersebut dalam berbagai pernyataan sepihak baik dalam bentuk pelebaran laut wilayah maupun dalam bentuk penguasaan zona-zona laut lainnya. Demikianlah konsepsi Zona Ekonomi Eksklusif merupakan manifestasi dari usaha-usaha negara-negara pantai untuk melakukan pengawasan dan penguasaan terhadap segala macam sumber kekayaan yang terdapat di zona laut yang terletak di luar dan berbatasan degan laut wilayahnya.

Konsepsi kedaulatan atas sumber kekayaan laut di luar laut wilayah ini pada mulanya berkembang di negara-negara Amerika Latin. Deklarasi Montevidio tanggal 8 Mei 1970 mulai berisikan prinsip untuk meluaskan kedaulatan negara-negara penandatanganan atau hak-hak yurisdiksi eksklusif meraka atas zona yang berbatasan dengan pantai, dasar laut dan lapisan tanah dibawahnya sampai pada jarak 200 mil. Tuntutan ini didasarkan atas keharusan mengeksploitir sumber-sumber laut agar dapat menjamin kelangsungan hidup rakyat negara-negara tersebut.

Deklarasi kedua yang dilahirkan oleh Konferensi di Lima tanggal 8 Agustus 1970 juga berisikan konsepsi yang sama yaitu hak bagi tiap negara-negara pantai untuk menetapkan kedaulatannya atas zona laut di luar laut wilayah yang didasarkan atas berbagai kepentingan baik biologis, geografis, geologis maupun keharusan eksploitasi.

Deklarasi berikutnya adalah deklarasi San Domingo yang diterima tanggal 7 Juni 1972 oleh Konferensi Menteri-menteri kawasan Karibia. Konferensi tersebut telah meletakkan prinsip-prinsip yang lebih jelas lagi mulai dari laut wilayah, zona ekonomi, landas kontinen sampai pada daerah dasar laut dan laut lepas. Juga diletakkan prinsip-prinsip kerjasama regional dan masalah-masalah mengenai pencemaran laut. Terhadap berbagai tema inilah koferensi PBB III tentang Hukum Laut yang diselenggarakan di Caracas beberapa waktu kemudian bertugas merumuskan berbagai macam prinsip.

Yang paling menarik perhatian ialah sautu istilah baru disamping laut wilayah timbul pula apa yang dinamakan laut patrimonial yang lebarnya 200 mil dari garis pangkal dan diatas mana negara-negara pantai mempunyai hak-hak berdaulat. Perluasan yurisdiksi negara-negara pantai ini terhadap zona laut di luar laut wilayah juga berkembang di Afrika.

Negara-negara Afrika dalam suatu seminar yang diselenggarakan di Yaounde dari tanggal 20 sampai dengan 30 juni 1972 menerima beberapa rekomendasi antara lain hak untuk menentukan suatu zona ekonomi di bagian sebelah luar laut wilayah. Di atas zona ekonomi tersebut negara-negara Afrika mempunyai yurisdiksi eksklusif untuk mengawasi dan mengeksploitir sumber-sumber biologis dari laut dan penggunaan sumber-sumber tersebut untuk lepentingan utama rakyat mereka dan ekonomi mereka masing-masing. Zona ekonomi tersebut mempunyai rezim hukum yang tidak bertentangan dengan kebebasan berlayar, kebebasan terbang diatasnya dan kebebasan untuk meletakkan kabel dan pipa laut. Naskah rekomendasi tersebut juga menerima suatu formulasi khusus mengenai eksploitasi sumber-sumber biologis di zona ekonomi. Eksploitasi tersebut pada hakekatnya harus terbuka kepada semua negara Afrika apakah berpantai atau tidak. Hak-hak negara-negara Afrika di luar negara-negara pantai harus dirumuskan dalam perjanjian-perjanjian bilateral, regional ataupun multilateral.

Mengenai lebarnya zona ekonomi tidak dijelaskan oleh rekomendasi Yaounde. Hanya dinyatakan bahwa lebar tersebut ditetapkan dalam mil laut berdasarkan konsiderasi-konsiderasi regional dengan mempertimbangkan juga kepentigan negara-negara tak berpantai dan sumber-sumber kawasan tersebut. Seminar Yaounde juga menerima perluasan kedaulatan atas semua sumber laut lepas yang berbatasan dengan laut wilayah meraka pada konfederasi Hukum Laut.

Selanjutnya Koperensi OUA tingkat Menteri di Addis Abeba dari tanggal 17 sampai dengan 24 Mei 1973 menerima pula suatu deklarasi bahwa negara-negara Afrika mengakui hak semua negara pantai untuk menetapkan suatu Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya tidak melebihi 200 mil yang dihitung dari garis-garis pangkal dari mana di ukur lebar laut wilayah. Sedangkan mengenai lebar laut wilayah, pernyataan tersebut tidak menyebutkannya secara jelas tetapi dpat diperkirakan bahwa dalam jarak 200 mil dari garis pangkal tersebut sudah termasuk lebar laut wilayah.

Rezim hukum zona ekonomi tersebut didefinisikan sebagai suatu kedaulatan permanen atas semua sumber biologis dan mineral milik negara-negara pantai. Walaupun dipakainya istilah kedaulatan permanen, itu sebenarnya hanya berarti hak-hak berdaulat atas sumber-sumber biologis. Juga pernyataan tersebut menjelaskan bahwa eksploitas atas zona tersebut tidak akan menganggu penggunaan laut secara sah yang berarti pengakuan yang tetap terhadap pelayaran, penerbangan, pemasangan kabel, dan pipa laut di zona laut tersebut. Jadi, bukanlah tuntutan terhadap kedaulatan itu sendiri, tetapi tuntutan hak-hak berdaulat saja atas sumber-sumber zona laut. Akhirnya, Konferensi Dewan Menteri tersebut memberikan hak kepada negara-negara tak berpantai dan kepada negara-negara yang secara geografis tidak beruntung (geographically disadvataged states) untuk ikut serta dalam eksploitasi sumber-sumber biologis dari zona ekonomi yang berdekatan seperti terhadap negara-negara pantai lainnya.[1]

Negara Indonesia sendiri, berdasarkan UNCLOS 1982 merupakan Negara kepulauan yang memiliki laut yang amat luas, yaitu lebih kurang 5,6 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, berbagai  potensi sumber daya yang amat kaya, terutama perikanan yang berlimpah. Namun seperti yang kita tahu, memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas harus beriringan dengan pengawasan yang baik pula, kurang terjaganya perairan Indonesia membuat mudahnya berbagai ancaman-ancaman dan sengketa-sengketa terhadap batas wilayah dengan negara-negara lainnya muncul, seperti yang kerap kita dengar adalah pencurian ikan (Illegal Fishing) dalam Zona Ekonomi Eksklusif. Yang terbaru adalah peristiwa di Natuna dengan China, antara KP Hiu 11 dengan Kapal asing asal China  KM Kway Fei 10078 yang diduga berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan melakukan pencurian ikan (Illegal fishing) di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Dalam UNCLOS 1982 dinyatakan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif adalah jalur diluar dan dengan laut wilayah, yang tunduk kepada rezim hukum khusus sebagaimana yang ditetapkan  pada bagian ini yang meliputi hak-hak dan yurisdiksi negara pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan dari pada Negara-negara lain yang ditentukan sesuai dengan konvensi ini. Kemudian batasan yang hampir dengan ketentuan pasal tersebut di atas adalah batasan yang diberikan oleh Pasal 2 UU No. 5 tahun 1983, yang menetapkan bahwa: “Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang  perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.”[2]

Berdasarkan uraian-uraian tentang perkembangan Zona Ekonomi Eksklusif, maka penulis tertarik untuk membuat beberapa rumusan-rumusan masalah, yaitu:

  1. Apa saja hak-hak dan kewajiban-kewajiban Negara dalam Zona Ekonomi Eksklusif ?
  2. Apa saja pengaturan hukum Internasional dan Nasional terhadap Illegal Fishing ?
  3. Apa manfaat Zona Ekonomi Eksklusif bagi Indonesia ?

PEMBAHASAN

A. HAK-HAK DAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN NEGARA DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Hak-hak, yurisdiksi dan kewajiban Negara pantai dalam Zona Ekonomi Eksklusif

Hak-hak ini dijelaskan dalam Pasal 56 UNCLOS 1982:

  1. Dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Negara pantai mempunyai:
  • Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari  perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan  berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin;
  • Yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan Konvensi ini berkenaan dengan: pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; riset ilmiah kelautan; perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
  • Hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi ini.
  1. Didalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Negara Pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan Konvensi ini;
  2. Hak-hak yang tercantum dalam pasal ini berkenaan dengan dasar laut dan tanah di bawahnya harus dilaksanakan sesuai dengan Bab VI. [1]

Hak-Hak Dan Kewajiban Negara Lain Di Zona Ekonomi Eksklusif

Hak-hak dan kewajiban Negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif dijelaskan dalam Pasal 58 UNCLOS 1982, yaitu:

  1. Di Zona Ekonomi Eksklusif, semua Negara, baik Negara berpantai atau tak  berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan Konvensi ini, kebebasan kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87 dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini, seperti penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain Konvensi ini;
  2. Pasal 88 sampai 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku diterapkan bagi Zona Ekonomi Eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan Bab ini;
  3. Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini di Zona Ekonomi Eksklusif, Negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internsional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan Bab ini.

Hak Negara-Negara Tak Berpantai

Hak Negara-negara tak berpantai dijelaskan dalam Pasal 69, yaitu:

  1. Negara tak berpantai mempunyai hak untuk berperan serta atas dasar keadilan, dalam eksploitasi bagian yang pantas dari kelebihan sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusif Negara-negara pantai dalam sub-region atau region yang sama, dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan geografi yang relevan semua Negara yang berpentingan dan sesuai dengan ketentuan pasal ini dan  pasal-pasal 61 dan 62;
  2. Persyaratan dan cara peran serta demikian akan ditetapkan oleh Negara-negara yang berkepentingan melalui perjanjian bilateral, sub-regional atau regional dengan memperhatikan, inter alia: kebutuhan untuk menghindari akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan atau industri penangkapan ikan Negara pantai; sejauh mana Negara tak berpantai tersebut, sesuai dengan ketentuan pasal ini,  berperan serta atau berhak untuk berperan serta berdasarkan perjanjian bilateral, sub-regional atau regional yang ada dalam mengeksploitasi sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusif Negara-negara pantai lainnya; sejauh mana Negara tak berpantai lainnya dan Negara yang secara geografis tak  beruntung berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusif Negara pantai tersebut dan kebutuhan yang timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagi suatu Negara pantai tertentu atau suatu bagian dari padanya; kebutuhan gizi penduduk masing-masing Negara.
  3. Bilamana kapasitas tangkap suatu Negara pantai mendekati suatu titik yang memungkinkan Negara itu untuk menangkap seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusifnya, maka Negara pantai dan Negara-negara lain yang berkepentingan harus  bekerjasama dalam menetapkan pengaturan yang adil atas dasar bilateral, sub-regional atau regional untuk memperbolehkan peran serta Negara-negara  berkembang tak berpantai di sub-region atau region yang sama dalam suatu eksploitasi sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Negara-negara  pantai di dalam sub-region atau region sebagaimana layaknya dengan memperhatikan kepada dan atas dasar persyaratan yang memuaskan bagi semua pihak. Dalam pelaksanaan ketentuan ini faktor-faktor yang disebut dalam ayat 2  juga harus diperhatikan;
  4. Negara maju tak berpantai, berdasarkan ketentuan pasal ini, berhak untuk berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati hanya dalam Zona Ekonomi Eksklusif Negara pantai yang maju dalam sub-region atau region yang sama dengan memperhatikan sejauh mana Negara pantai, dalam memberikan kesempatan kepada Negara lain untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusifnya, telah memperhatikan kebutuhan untuk memperkecil akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan dan dislokasi ekonomi di Negara yang warganegaranya telah bisa menangkap ikan dalam zona tersebut;
  5. Ketentuan di atas adalah tanpa mengurangi arti pengaturan yang disepakati di sub-region atau region dimana Negara pantai dapat memberikan kepada Negara-negara tak berpantai dalam sub-region dan region yang sama hak-hak yang sama atau yang didahulukan untuk eksploitasi sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusif.

Hak Negara yang secara geografis tak beruntung (Landlocked and Geographically Disadvantaged States)

Hak Negara yang secara geografis tak beruntung dijelaskan dalam Pasal 70, yaitu:

  1. Negara yang secara geografis tak beruntung mempunyai hak untuk berperan serta, atas dasar yang adil, dalam eksploitasi suatu bagian yang layak dan surplus sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusif Negara-negara pantai di subregion atau region yang sama, dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan geografis yang relevan dari semua Negara yang berkepentingan dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pasal ini dan pasal-pasal 61 dan 62;
  2. Untuk tujuan Bab ini, “Negara yang secara geografis tak beruntung” berarti Negara pantai, termasuk Negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup, yang letak geografisnya membuatnya tergantung pada eksploitasi sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusif Negara lain di sub-region atau region untuk persediaan ikan yang memadai bagi keperluan gizi  penduduknya atau bagian;
  3. Persyaratan dan cara peran serta demikian harus ditetapkan oleh Negara-negara yang bersangkutan melalui persetujuan bilateral, sub-region atau regional dengan memperhatikan, inter alia:kebutuhan untuk menghindari akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan atau industri Penangkapan ikan Negara Pantai; sampai sejauh mana negara yang secara geografis tak beruntung, sesuai dengan ketentuan pasal ini, berperan serta atau berhak untuk berperan serta berdasarkan persetujuan bilateral, sub-regional atau regional yang ada dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Negara pantai lain; sampai sejauh mana Negara yang secara geografis tak beruntung lainnya dan  Negara tak berpantai berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusif Negara pantai dan kebutuhan yang timbul karenanya untuk menghindari suatu beban khusus bagi suatu Negara pantai tertentu atau satu bagian dari padanya; kebutuhan gizi penduduk masing-masing Negara.
  4. Bilamana kapasitas tangkap suatu Negara pantai mendekati suatu titik yang memungkinkan Negara itu untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan dari sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusif, maka Negara pantai dan negara lain yang berkepentingan harus bekerjasama untuk menetapkan pengaturan yang adil, atas dasar bilateral, sub-regional atau regional untuk memperbolehkan peran serta Negara-negara berkembang yang secara geografis tak beruntung di sub-region atau region yang sama dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusif Negara pantai di sub-region atau region sebagaimana layaknya sesuai dengan keadaan dan  berdasarkan persyaratan yang memuaskan bagi semua pihak. Dalam  pelaksanaan ketentuan ini faktor-faktor yang disebut dalam ayat 3 juga harus diperhatikan;
  5. Negara maju yang secara geografis tak beruntung, berdasarkan ketentuan pasal ini, berhak untuk berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati hanya di Zona Ekonomi Eksklusif Negara pantai yang maju dalam subregion atau region yang sama dengan memperhatikan sampai sejauh mana Negara pantai, dalam memberikan kesempatan kepada Negara lain untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusifnya, telah memperhatikan kebutuhan untuk memperkecil akibat yang merugikan bagi masyarakat nelayan dan dislokasi ekonomi di Negara yang warganegaranya telah biasa menangkap ikan dizona tersebut;
  6. Ketentuan di atas adalah tanpa mengurangi arti pengaturan yang telah disepakati di sub-region atau region dimana Negara pantai dapat memberikan kepada Negara-negara yang secara geografis tak beruntung dalam sub-region atau region yang sama hak yang sama atau hak yang didahulukan untuk eksploitasi sumber kekayaan hayati di Zona Ekonomi Eksklusif.[2]

B. PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL DAN NASIONAL TERHADAP ILLEGAL FISHING

Illegal Fishing diatur dalam pengaturan Internasional dan Nasional, antara lain:

Pengaturan Internasional

  • United Nations Convention on the Law of the Sea 1982

            United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS 1982) tidak mengatur tentang Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing), akan tetapi mengatur secara umum tentang penegakan hukum di laut teritorial maupun Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara. Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial ataupun perairan pedalaman suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982. Negara pantai dapat memberlakukan peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut hanya apabila pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan negara pantai.[3] Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 ayat 1 UNCLOS 1982 tidak terpenuhi, maka negara pantai tidak bisa menerapkan yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut.

            Pasal 27 ayat 5 UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab V tentang Zona Ekonomi Eksklusif dalam hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya perikanan. Hal ini berbeda jika pelanggaran terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif, terutama pelanggaran terhadap kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya perikanan. Dalam Pasal 73 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa jika kapal asing tidak mematuhi peraturan perundang-undangan negara pantai dalam hal konservasi sumber daya perikanan, negara pantai dapat melakukan penangkapan terhadap kapal tersebut. Akan tetapi kapal dan awak kapal yang ditangkap tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable bond yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman terhadap kapal asing tersebut juga tidak boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu penjara. Hal ini dikarenakan di Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat (sovereign rights) dan bukan kedaulatan.[4]

  • International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001

            International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (selanjutnya disebut IPOA-IUU 2001) merupakan instrument yang bersifat Soft Laws, bersifat sukarela (voluntary) dan tidak mengikat (not-binding) yang dapat diberlakukan pada seluruh negara. Batasan pengertian serta mekanisme pencegahan dan penanggulangan IUU Fishing dituangkan dengan jelas dalam IPOA-IUU 2001. Mekanisme tersebut difokuskan pada tanggung jawab serta peran seluruh negara di dunia. Negara berpantai, negara pelabuhan, organisasi penelitian serta Regional Fisheries Management Organization (RFMOs).

            Tujuan IPOA-IUU 2001 disebutkan dalam Bab III ayat 8 IPOA-IUU 2001 yaitu ”The objective of the IPOA is to prevent, deter and eliminate IUU Fishing, by providing all States with comprehensive, effective and transparent measures by whict to act, including through appropriate regional fisheries management organizations established in accordance with international law” (Tujuan dari IPOA adalah untuk mencegah, menghalangi, dan menghapuskan IUU Fishing, oleh kesediaan seluruh negara dengan tindakan yang menyeluruh, efektif dan jelas, termasuk melalui organisasi pengelolaan perikanan regional yang sesuai dan ditetapkan dengan hukum internasional). [5]

  • Code of Conduct for Responsile Fisheries 1995

            Code Of Conduct For Responsible Fisheries adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries ke-28 FAO di Roma pada tanggal 31 Oktober 1995, yang tercantum dalam resolusi Nomor: 4/1995 yang secara resmi mengadopsi dokumen Code of Conduct for Responsible Fisheries. Resolusi yang sama juga meminta pada FAO berkolaborasi dengan anggota dan organisasi yang relevan untuk menyusun technical guidelines yang mendukung pelaksanaan dari Code of Conduct for Responsible Fisheries tersebut.

            Efektifitas Code of Conduct for Responsible Fisheries (selanjutnya disebut CCRF) dilakukan dengan cara mewajibkan negara-negara anggota untuk memberikan laporan perkembangan kemajuan (progress report) setiap dua tahun kepada FAO. Laporan negara-negara anggota akan menjadi rujukan dalam penentuan status kepatuhan negara terhadap tindakan penangkapan ikan secara bertanggung-jawab dan pada gilirannya menghindarkan suatu negara dari tuduhan melakukan tindakan IUU Fishing. Bila dilihat dari sifat CCRF yang sukarela dan model adopsi yang diterapkan dalam pemberlakuan prinsip-prinsip CCRF terhadap hukum nasional masing-masing negara, maka implementasi CCRF tergantung kepada itikad baik dan kemampuan aparat hukum dari negara yang melakukan adopsi prinsip-prinsip umum CCRF yang berkaitan dengan penanggulangan IUU Fishing.[6] Sama dengan sebelumnya instrumen hukum ini pun bersifat Sof Laws, yang di mana ketentuannya bersifat sukarela (voluntary) dan tidak mengikat (non-binding).

  • Regional Plan of Action to Promote Responsible Fishing Practices including Combating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Region 2007

            Regional Plan of Action to Promote Responsible Fishing Practices including Combating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Region (selanjutnya disebut RPOA) bertujuan untuk mempromosikan tindakan penangkapan ikan yang bertanggung jawab termasuk untuk pemberantasan IUU Fishing di wilayah itu. RPOA disahkan di Bali-Indonesia pada tanggal 4 Mei 2007 oleh 11 Menteri yang bertanggung jawab untuk perikanan dari 11 negara sebagai komitmen daerah. RPOA merupakan inisiatif bersama antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Australia dalam memerangi kegiatan IUU Fishing. Dalam Rapat pertama pertemuan Komite Koordinasi RPOA diadakan di Manila-Filipina, pada tanggal 28-30 April 2008, disepakati bahwa Komite akan diminta untuk secara berkala melaporkan kepada Menteri Perikanan tentang kemajuan implementasi dan langkah-langkah tambahan yang diperlukan untuk pelaksanaan RPOA tersebut.

            Pertemuan ini juga sepakat bahwa komite koordinasi dapat jika diperlukan mengatur sementara kelompok kerja teknis untuk menyediakan informasi dan saran pada sumber daya perikanan di daerah dan hal-hal terkait yang relevan dengan konservasi dan manajemen, dan untuk mengatasi teknis tertentu atau isu-isu berkaitan dengan pelaksanaan RPOA tersebut.[7]

Pengaturan Nasional

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

            Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2010 Tentang Perikanan telah tercantum kegiatan yang berhubungan dengan Illegal Fishing, yaitu: 

  • Pasal 7: kewajiban setiap orang untuk memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan oleh Menteri dalam pengelolaan sumberdaya perikanan;
  • Pasal 8: kewajiban setiap orang untuk memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan oleh Menteri dalam pengelolaan sumberdaya perikanan;
  • Pasal 9: pelarangan pemilikan dan penggunaan kapal dengan alat tangkap dan/atau alat bantu yang tidak sesuai ukuran yang ditetapkan, tidak sesuai persyaratan atau standar dan alat tangkap yang dilarang;
  • Pasal 12: pelarangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran/atau kerusakan sumberdaya ikan dan/atau lingkungan di wilayah pengelolaan RI pelarangan memasukan atau mengeluarkan ikan dan/atau hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah RI tanpa sertifikasi kesehatan untuk konsumsi manusia;
  • Pasal 21: pelarangan penggunaan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan;
  • Pasal 23: pelarangan penggunaan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia;
  • Pasal 26: kewajiban memiliki SIUP;
  • Pasal 27: kewajiban memiliki SIPI bagi kapal penangkap ikan;
  • Pasal 28: kewajiban memiliki Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan bagi kapal yang mengangkut ikan;
  • Pasal 29: warga negara asing yang melakukan usaha perikanan di wilayah Republik Indonesia, kecuali untuk penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
  • Pasal 36 : hal-hal yang harus dipatuhi oleh kapal asing;
  • Pasal 37 : persyaratan tanda pengenal kapal perikanan;
  • Pasal 38: tentang hal yang harus dilakukan kapal ikan berbendera asing selama berada di wilayah perairan RI;
  • Pasal 4: kewajiban kapal ikan untuk memiliki surat layak operasi dari pengawasan perikanan.[8]

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti: Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan.

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 Tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 Tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005 Tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Yang Bukan Untuk Tujuan Komersial.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 Tentang Usaha Perikanan Tangkap.

C. MANFAAT ZONA EKONOMI EKSKLUSIF BAGI INDONESIA

            Zona Ekonomi Eksklusif diartikan sebagai suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan 57). Menurut pengertian Pasal 56, negara pantai di Zona Ekonomi Eksklusif dapat menikmati beberapa hal berikut:

  1. Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah dibawahnya serta  pada perairan diatasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut ( seperti produksi energi dari air, arus, angin);
  2. Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan pula-pulau buatan, riset ilmiah kelautan, serta perlindungan lingkungan laut;
  3. Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi ini.

            Keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin; Merupakan Sumber-sumber mana sangat bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan di wilayah Indonesia sendiri selain itu banyak sekali aktivitas kegiatan di Zona tersebut misalnya:

  1. pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan;
  2. riset ilmiah kelautan;
  3. perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; Hal tersebut merupakan aktivitas yang memberi manfaat bagi Negara Indonesia sendiri.

Manfaat lain dari Zona Ekonomi Eksklusif bagi indonesia antara lain:

  1. Bertambah luasnya daerah teritoial laut indonesia;
  2. Indonesia mempunyai hak atas kekayaan alam berdasarkan 200 mil dari pantai;
  3. Untuk mengetahui titik batas yang ditarik dari titik dalam laut hingga titik luar kedalaman pantai yaiti 200 meter/12 mil dari permukaaan air laut.

            Kekayaan mineral seperti minyak dan gas bumi, kerang, rumput laut, sponges, dan sumber hayati lainnya menyimpan harapan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Laut sendiri memiliki banyak fungsi / peran / manfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya karena di dalam dan di atas laut terdapat kekayaan sumber daya alam yang dapat kita manfaatkan diantaranya yaitu:

  1. Tempat rekreasi dan hiburan;
  2. Tempat hidup sumber makanan kita;
  3. Pembangkit listrik tenaga ombak, pasang surut, angin, dsb;
  4. Tempat budidaya ikan, kerang mutiara, rumput laun, dll;
  5. Tempat barang tambang berada;
  6. Salah satu sumber air minum (desalinasi);
  7. Sebagai jalur transportasi air;
  8. Sebagai tempat cadangan air bumi;
  9. Tempat membuang sampah berbahaya (fungsi buruk);
  10. Sebagai objek riset penelitian dan pendidikan.

            Namun perlu diperhatikan bahwa Negara pantai “hanya” menikmati hak -hak  berdaulat dan bukan kedaulatan. Bahwa Zona Ekonomi Eksklusif bukan laut teritorial dapat juga dilihat dari ketentuan Pasal 58 yang menyatakan bahwa di Zona Ekonomi Eksklusif semua negara dapat menikmati kebebasan berlayar dan terbang di atasnya serta kebebasan untuk meletakkan pipa dan kabel dibawah laut, dan juga untuk  penggunaan sah lainnya berkenaan dengan kebebasan tersebut. Sesuai ketentuan tersebut aspek-aspek kebebasan di laut lepas berlaku juga di Zona Ekonomi Eksklusif.

            Apakah dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif sebagai laut lepas merupakan suatu masalah yang tidak jawab secara tegas oleh konvensi? Tampaknya kemungkinan paling besar adalah bahwa Zona Ekonomi Eksklusif merupakan zona yang “sui generis”.[9]

            Konvensi juga berisi pengaturan tentang penetapan batas zona ekonomi ekslusif antara negara-negara yang pantainya berhadapan maupun berdampingan. Penetapan  batas tersebut harus ditetapkan melalui perjanjian dengan didasarkan pada hukum internasional untuk mendapatkan suatu penyelesaian yang adil. Apabila tidak tercapai suatu persetujuan, negara-negara yang bersangkutan harus menyelesaikannya melalui  prosedur yang ditetapkan dalam konvensi mengenai penyelesaian sengketa (Pasal 74). Pasal 121 juga penting untuk penetapan batas zona ekonomi ekslusif ini karena dalam pasal tersebut dinyatakan “batu karang” (dengan kata lain, pulau) yang tidak mendukung adanya kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tidak berhak untuk memiliki Zona Ekonomi Eksklusif.

            Perlu dicatat bahwa negara-negara pantai telah menikmati hak-hak berdaulat atas dasar laut dan tanah dibawahnya di luar laut teritorial bukan menurut konvensi mengenai landas kontinen saja, tetapi juga berdasar kan hukum internasional publik umum. Walaupun hak-hak tersebut terikat dengan keadaan geologis dari landas kontinen (sebagaimana dikukuhkan oleh Mahkamah Internasional dalam kasus “North Sea Continental Shelf”).[10]

            Hak-hak negara pantai terhadap dasar laut dalam artian prinsip Zona Ekonomi Eksklusif terpisah dengan anggapan ini, hal ini dapat diterapkan pada daerah-daerah yang secara

PENUTUP

Kesimpulan

      Hak-hak, yurisdiksi dan kewajiban Negara pantai dalam Zona Ekonomi Eksklusif dijelaskan dalam Pasal 56 UNCLOS 1982. Dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Negara pantai mempunyai hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan  pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non-hayati, dari  perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan  berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin. Di dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya, Negara Pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.

      Lalu, Hak-hak dan kewajiban Negara lain di Zona Ekonomi Eksklusif dijelaskan dalam Pasal 58 UNCLOS 1982, yaitu di Zona Ekonomi Eksklusif, semua Negara, baik Negara berpantai atau tak  berpantai, menikmati kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kabel dan pipa bawah laut yang disebut dalam pasal 87 dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan ini. Namun dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi di Zona Ekonomi Eksklusif, Negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban Negara pantai dan harus mentaati peraturan  perundang-undangan yang ditetapkan oleh Negara pantai sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internsional lainnya sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan.

      Hak Negara-negara tak berpantai dijelaskan dalam Pasal 69, yaitu Negara tak berpantai mempunyai hak untuk berperan serta atas dasar keadilan, dalam eksploitasi bagian yang pantas dari kelebihan sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusif Negara-negara pantai dalam sub-region atau region yang sama, dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan geografi yang relevan.

      Hak Negara yang secara geografis tak beruntung (Landlocked and Geographically Disadvantaged States) dijelaskan dalam Pasal 70, yaitu Negara yang secara geografis tak beruntung mempunyai hak untuk berperan serta, atas dasar yang adil, dalam eksploitasi suatu bagian yang layak dan surplus sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusif Negara-negara pantai di subregion atau region yang sama, dengan memperhatikan keadaan ekonomi dan geografis yang relevan dari semua Negara yang berkepentingan dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan. Negara maju yang secara geografis tak beruntung juga berhak untuk berperan serta dalam eksploitasi sumber kekayaan hayati hanya di Zona Ekonomi Eksklusif Negara pantai yang maju dalam subregion atau region yang sama dengan memperhatikan sampai sejauh mana Negara pantai, dalam memberikan kesempatan kepada Negara lain untuk memanfaatkan sumber kekayaan hayati Zona Ekonomi Eksklusifnya.

      Dalam bagian selanjutnya dari kesimpulan, mengenai pengaturan Illegal Fishing, United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (selanjutnya disebut UNCLOS 1982) tidak mengatur tentang Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing), akan tetapi mengatur secara umum tentang penegakan hukum di laut teritorial maupun Zona Ekonomi Eksklusif suatu negara. Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial ataupun perairan pedalaman suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982. Negara pantai dapat memberlakukan peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut hanya apabila pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan negara pantai. 

      International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (selanjutnya disebut IPOA-IUU 2001) merupakan instrument yang bersifat Soft Laws, bersifat sukarela (voluntary) dan tidak mengikat (not-binding) yang dapat diberlakukan pada seluruh negara. Lalu hadir lagi, Code Of Conduct For Responsible Fisheries adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee on Fisheries ke-28 FAO di Roma pada tanggal 31 Oktober 1995, selanjutnya Regional Plan of Action to Promote Responsible Fishing Practices including Combating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Region (disebut RPOA) bertujuan untuk mempromosikan tindakan penangkapan ikan yang bertanggung jawab termasuk untuk pemberantasan IUU Fishing di wilayah itu. RPOA disahkan di Bali-Indonesia pada tanggal 4 Mei 2007 oleh 11 Menteri yang bertanggung jawab untuk perikanan dari 11 negara sebagai komitmen daerah.

      Dalam Pengaturan Hukum Nasional dapat di temukan antara lain, yaitu: Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti: Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 Tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 Tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan.

      Manfaat lain dari Zona Ekonomi Eksklusif bagi indonesia antara lain: Bertambah luasnya daerah teritoial laut indonesia, Indonesia mempunyai hak atas kekayaan alam berdasarkan 200 mil dari pantai, Untuk mengetahui titik batas yang ditarik dari titik dalam laut hingga titik luar kedalaman pantai yaiti 200 meter/12 mil dari permukaaan air laut, dan lain sebagainya. Kekayaan mineral seperti minyak dan gas bumi, kerang, rumput laut, sponges, dan sumber hayati lainnya menyimpan harapan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Laut sendiri memiliki banyak fungsi / peran / manfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya karena di dalam dan di atas laut terdapat kekayaan sumber daya alam yang dapat kita manfaatkan

Saran

      Aturan-aturan yang tercantum berdasarkan konvensi-konvensi baiknya benar-benar di lakukan oleh Negara-negara sebagai suatu komitmen dan kewajiban bersama untuk melindungi dan mencegah perbuatan-perbuatan yang seolah-olah laut adalah kebebasan eksplorasi dan eksploitasi sebesar-besarnya tanpa memperdulikan negara lainnya, terkadang aturan seringkali hanya di anggap sebagai tulisan-tulisan semata yang cenderung dilanggar, khususnya negara-negara super power atau negara-negara adi-daya.

      Bagi Indonesia sendiri khususnya, diperlukan pengaturan dan implementasi penegakan hukum yang tegas di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, agar hak berdaulat Indonesia di zona tersebut tidak diabaikan oleh negara lain khususnya negara tetangga yang lautnya berbatasan langsung dengan wilayah laut Indonesia.

DAFTAR REFERENSI

Buku

  1. Boer Mauna. Hukum Internasional: pengertian peranan dan fungsinya dalam era dinamika global. Bandung: PT Alumni. 2011
  2. Dikdik Mohamad Sodik. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. 2014
  3. Heru Prijanto. Hukum Laut Internasional. Malang: Bayumedia Publishing. 2007
  4. Mochtar Kusumaatmaja. Hukum Laut Internasional. Bandung: Bina Cipta. 1986

Internet

  1. http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf
  2. http://e-journal.uajy.ac.id/5877/1/JURNAL.pdf
  3. http://www.academia.edu/10109513/Zona_Ekonomi_Eksklusif
  4. https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1103005133-3-BAB%20II.pdf
  5. http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2008/11/code-of-conduct-for-responsible.html

Peraturan dan Konvensi

  1. United Nations Convention on the Law of The Sea 1982
  2. Code of Conduct for Responsile Fisheries 1995
  3. International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001
  4. Regional Plan of Action to Promote Responsible Fishing Practices including Combating Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing in the Region 2007
  5. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
  6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

 

[1] Dikdik Mohamad Sodik. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama. 2014. Hal.82-83

[2] http://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf

[3] Lihat Article 2 United Nations Convention on the Law of The Sea 1982

[4] Mochtar Kusumaatmaja. Hukum Laut Internasional. Bandung: Bina Cipta. 1986

[5] http://e-journal.uajy.ac.id/5877/1/JURNAL.pdf

[6] http://mukhtar-api.blogspot.co.id/2008/11/code-of-conduct-for-responsible.html

[7] https://wisuda.unud.ac.id/pdf/1103005133-3-BAB%20II.pdf

[8] Lihat Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

[9] http://www.academia.edu/10109513/Zona_Ekonomi_Eksklusif

[11] Heru Prijanto. Hukum Laut Internasional. Malang: Bayumedia Publishing. 2007. Hal. 13

 
Leave a comment

Posted by on 6 December 2017 in Tak Berkategori

 

Perbandingan Hukum Pidana – Perbandingan Pidana Mati di Indonesia dan Negara-Negara Lainnya

Indonesia

Menurut Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pidana mati masuk dalam kategori pidana pokok bersamaan dengan pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Dalam KUHP sendiri, menurut Andi Hamzah, delik yang diancam pidana mati sudah menjadi sembilan (9) buah, yaitu:

  • Pasal 104 KUHP;
  • Pasal 111 Ayat (2) KUHP;
  • Pasal 124 Ayat (1) KUHP;
  • Pasal 124 bis KUHP;
  • Pasal 140 Ayat (3) KUHP;
  • Pasal 340 KUHP;
  • Pasal 365 Ayat (4) KUHP;
  • Pasal 444 KUHP;
  • Pasal 479 k Ayat (2) dan Pasal 479 o Ayat (2) KUHP.[1]

Dalam perkembangan politik hukum mengenai kontroversi pidana mati di Indonesia, pernah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon yang mengajukan uji materiil adalah Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan berargumen antara lain bahwa pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia. Melalui persidangan yang panjang, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 2–3/PUU-V/2007 yang pada intinya menolak permohonan uji materiil tersebut. Artinya, pidana mati masih tetap berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Kendatipun demikian, tidak terdapat suara bulat dalam pengambilan putusan perkara a quo. Empat dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi mengajukan pendapat berbeda terkait pidana mati.[2] Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara a quo menyatakan bahwa Indonesia tidak menganut asas absolut atau kemutlakan hak asasi manusia, hak asasi manusia yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara Indonesia dibatasi oleh Pasal 28 J UUD 1945 yang mengandung makna bahwa seseorang dalam menggunakan hak asasinya harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan penerapan pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, majelis hakim berpendapat, Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun, termasuk ICCPR yang menganjurkan penghapusan hukuman mati.[3]

Selanjutnya pelaksanaan pidana mati diatur pada Pasal 11 KUHP yang menyatakan “Pidana Mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”. Pelaksanaan pidana mati yang demikian dianggap tidak manusiawi sehingga diterbitkan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No. 38) yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Peradilan Umum Dan Militer. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati menurut ketentuan-ketentuan dalam undang-undang a quo.[4]

Pidana Mati dalam Konsep RUU KUHP

Pidana mati tetap dipertahankan dalam konsep RUU KUHP, status pidana mati dalam konsep tersebut tidak dimasukkan dalam kelompok pidana pokok, tetapi sebagai pidana khusus (eksepsional). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 61 Konsep 2000. Namun, dalam perkembangannya, Konsep 2004 (Pasal 63) dan Konsep 2005-2012 (Pasal 66) menyebutnya dengan istilah “pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif”. Dikeluarkannya pidana mati dari komposisi/deretan pidana pokok dan dijadikan sebagai pidana pokok yang bersifat khusus/eksepsional, Menurut Barda Nawawi Arief dapat dimaklumi dengan alasan bahwa apabila dilihat dari tujuan pemidanaan, pidana mati pada hakikatnya bukan sarana utama/pokok untuk mengatur, menertibkan, dan memperbaiki individu/masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana terakhir/perkecualian. Hal ini diidentikkan dengan “amputasi/operasi” di bidang kedokteran, yang pada hakikatnya juga bukan sarana/obat utama, melainkan hanya upaya perkecualian sebagai sarana/obat terakhir. Oleh karena itu dapat ditegaskan dalam Konsep (Pasal 80/2000); Pasal 84/2004; Pasal 87/2005-2012) bahwa “pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat”.[5]

Pelaksanaan Pidana Mati Menurut Konsep RUU KUHP

Telah dikemukakan di atas bahwa walaupun pidana mati tetap dipertahankan berdasarkan alasan kepentingan umum (perlindungan masyarakat), dalam pelaksanaanya juga memperhatikan kepentingan dan perlindungan individu (ide keseimbangan monodualistik). Hal ini terlihat dari ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

  • Pasal 88 Ayat (3) Konsep 2006-2012 “penundaan pelaksanaan pidana mati bagi wanita hamil dan orang sakit jiwa”
  • Pasal 89 Ayat (1) Konsep 2006-2012 “penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun jika:
  • Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
  • Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
  • Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan
  • Ada alasan yang meringkankan”
  • Pasal 89 Ayat (2) Konsep 2006-2012 “ apabila dalam masa percobaan (10 tahun) terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, pidana mati itu dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun”
  • Pasal 88 Ayat (4) Konsep 2006-2012 “pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi ditolak presiden”
  • Pasal 90 Konsep 2006-2012 “apabila permohonan grasi ditolak, tetapi pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun bukan karena terpidana melarikan diri, pidana mati itu dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.[6]

Republik Rakyat China

Penerapan pidana mati berdasarkan KUHP RRC 1980 memiliki beberapa ketentuan, antara lain menentukan pidana mati yang ditunda selama 2 tahun. Penundaan pidana mati di RRC lebih merupakan bentuk modifikasi pelaksanaan pidana (strafmodus atau model of sanction). Yang ditunda bukan penjatuhan ataupun penerapan pidana matinya, melainkan pelaksanaannya sehingga menurut Barda Nawawi Arief lebih tepat disebut “penundaan pelaksanaan pidana mati” atau “pidana mati tertunda” (suspended death sentence / penalty).Pidana mati tertunda di RRC diatur dalam KUHP yang ketentuan intinya sebagai berikut :

  • Dalam hal si pelaku seharusnya dijatuhi pidana mati, tetapi eksekusi segera tidak diperlukan sekali (immediate execution is not essential), maka penundaan eksekusi selama 2 tahun dapat diputuskan pada saat pidana mati itu (Article 48).
  • Apabila seseorang yang dijatuhi pidana mati tertunda tidak berkeinginan melakukan kejahatan (maksudnya menunjukkan penyesalan atau pertobatan yang sungguh-sungguh-truly repents) selama waktu penundaan, ia diberi pengurangan pidana penjara seumur hidup; apabila ia menunjukkan pengabdian yang berjasa, ia mendapat pengurangan pidana tidak kurang dari 15 tahun dan tidak lebih dari 20 tahun pidana penjara; apabila terbukti bahwa ia melakukan kejahatan dengan sengaja, maka pidana mati dilaksanakan atas persetujuan Mahkamah Agung (Article 50).
  • Waktu atau lamanya penundaan pelaksanaan pidana mati dihitung sejak putusan hakim berkekuatan tetap, waktu atau lamanya pidana yang dikurangi dari pidana mati tertunda menjadi pidana penjara dalam waktu tertentu, dihitung sejak tanggal berakhirnya masa penundaan (Article 51)

Dari ketentuan di atas terlihat dua kemungkinan pengurangan atau reduksi pidana bagi terpidana mati yang berhasil menjalani masa penundaan selama 2 tahun, yaitu:

  • Pidananya direduksi menjadi pidana penjara seumur hidup apabila menunjukkan penyesalan sungguh-sungguh; atau
  • Direduksi menjadi pidana penjara minimal 15 tahun, tetapi tidak lebih dari 20 tahun apabila disamping menunjukkan penyesalan sungguh-sungguh, juga menunjukkan pengabdian yang berjasa.

Walaupun dalam pasal 48 di atas pidana mati tertunda dapat diberikan kalau “immediate execution is not essential”, untuk kejahatan-kejahatan tertentu pengadilan dapat menjatuhkan hal itu karena adanya alasan-alasan hukum yang meringankan. Dengan adanya Pasal 50 di atas, pidana mati tertunda di RRC dapat juga dikatakan sebagai “pidana mati bersyarat”.[7]

Inggris

Di Inggris pada akhir abad ke-15, mulanya pidana mati hanya dikenal terhadap 8 kejahatan besar, antara lain perampokan, pemerkosaan, pembunuhan terhadap suami atau istri dan pembunuhan atas dasar kebencian. Pada saat George II sebagai Raja Inggris, jumlah jenis kejahatan yang dapat dijatuhi pidana mati pada tahun 1688 meningkat mendekati 50, sedangkan pada saat George III berkuasa total kejahatan yang dapat dijatuhi pidana mati menjadi 60 jenis.[8] Penjatuhan pidana mati pada jaman itu adalah dengan digantung didepan umum. Dalam perkembangannya kontroversi terhadap pidana mati mulai bermunculan di berbagai belahan dunia termasuk Inggris, juga Amerika. Salah satu alasan penolakan terhadap pidana mati adalah bahwa hak untuk menghukum hanya ada pada Tuhan termasuk pencabutan terhadap nyawa pelaku yang melakukan kejahatan pembunuhan sekalipun.

Pada tahun 1957 sebuah kompromi dicapai atas hukuman mati. Undang-undang Pembunuhan dihapuskan untuk beberapa jenis pembunuhan. Namun masih diterapkan untuk pembunuhan dengan pencurian, dengan menembak atau meledakan. Hukuman mati juga diterapkan untuk pembunuhan petugas polisi atau petugas penjara saat bertugas (Orang terakhir yang digantung karena membunuh seorang polisi di Inggris adalah Gunther Podola pada tahun 1959). Seseorang yang dihukum karena lebih dari satu pembunuhan juga bisa digantung. Hukuman mati secara teori masih bisa digunakan untuk kejahatan lainnya. Hukuman mati untuk pembakaran di Galangan Kapal Kerajaan telah dihapuskan pada tahun 1971. Pada tahun 1998 dihapuskan untuk pengkhianatan dan pembajakan dengan kekerasan. (Orang terakhir yang benar-benar digantung karena pengkhianatan di Inggris adalah Theodore Schurch pada tahun 1946). Pada tahun 1999, Sekretaris Rumah Inggris menandatangani protokol ke-6 dari Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa, yang secara formal mengakhiri hukuman mati di Inggris.[9]

Amerika Serikat

     Penerapan pidana mati di Amerika pada awalnya ditujukan untuk jenis-jenis kejahtan antara lain pemujaan terhadap berhala, perzinahan dan sodomi. Namun seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa Amerika Serikat juga mengalami berbagai penolakan terhadap pidana mati. Kritik pertama kali muncul dari Cesare Beccaira pada tahun1764 yang menyatakan bahwa pidana mati merusak masyarakat dari contohnya kebiadaban yang dihasilkannya. Jika nafsu atau kebutuhan perang telah mengajari manusia untuk mencucurkan darah dari mahluk sesamanya, hukum yang dimaksudnkan untuk memperbaiki keganasan manusia, seharusnya tidak dengan cara menambah contoh kebiadaban. Bahkan menurutnya, lebih mengerikan saat pidana mati biasanya dihadirkan dengan arak-arakan formal dan di depan umum.

     Di Amerika, meskipun para founding fathers dapat menerima pidana mati, namun sejak awal banyak yang menentang adanya pidana mati. Benjamin Rush adalah orang pertama yang mendirikan gerakan penghapusan pidana mati di Amerika pada akhir abad ke-18. Pada pertengahan abad ke-19, jenis kejahatan yang dapat dijatuhi pidana mati telah dikurangi. Negara bagian pertama yang menghapus pidana mati adalah Pennsylvania pada tahun 1786, namun penghapusan tersebut hanya untuk kejahatan-kejahatan tertentu seperti perampokan, sodomi dan pembunuhan yang dilakukan untuk pertama kali. Perkembangan lebih lanjut di Amerika, dibentuklah koalisi nasional penghapusan pidana mati atau National Coalition To Abolish The Death Penalty (NCADP). Koalisi tersebut sebagai pusat dan sumber informasi upaya mengakhiri pidana mati di Amerika. Jaringan individu dan organisasi baik ditingkat lokal maupun nasional saling bertukar informasi, bantuan teknis dan kampanye penghapusan pidana mati.[10]

Malaysia

Tata cara eksekusi pidana mati menurut undang-undang di Malaysia telah diatur dalam Undang-Undang Sivil di bawah Akta Kanun Acara Jenayah yang diundangkan pada 9 Januari 1976 pada BAB XXVII, Pasal 281 tentang Pelaksanaan Hukuman Mati.Malaysia merupakan sebuah negara yang melaksanakan hukuman mati dengan cara digantung dengan tali bagi terpidana yang melakukan jinayah besar. Pelaksanaan hukuman gantung sudah lama diterapkan di Malaysia, yakni sejak Penjara Pudu, Malaysia dibina pada tahun 1891. Undang-Undang mengenai hukuman mati di Malaysia ini didasarkan atas undang-undang Inggris yang sejak dulu dipakai. Undang-undang hukuman mati di Malaysia ini tidak sepenuhnya berdasarkan hukum Islam, Malaysia mendasarkan alasan “cepat mematikan” bagi hukuman gantung, karena hukuman gantung dengan tali dipercaya merenggut nyawa terpidana tidak sampai dua detik.Pasal 277 Kanun Acara Jenayah menyatakan, “apabila mana-mana orang telah dihukum dengan kematian maka hukuman itu hendaklah mengarahkan bahwa dia digantung lehernya sehingga mati, tetapi tidak boleh dinyatakan tempat dan masa hukuman gantung itu dijalankan.”

Selanjutnya menurut Kanun Prosedur Jinayah sebab-sebab dijatuhkan hukuman mati menurut undang-undang di Malaysia ialah apabila:

  • Kejahatan yang dilakukan dengan cara merampas atau bersekongkol menggulingkan kekuasaan Yang Dipertuan Agung atau Raja-Raja atau Yang dipertuan Negeri;
  • Kesalahan yang berhubungan dengan angkatan bersenjata;
  • Kesalahan yang berhubungan dengan keterangan palsu dan kesalahan-kesalahan terhadap keadilan awam, yakni :
  1. Membuat keterangan palsu dan kejahatan terhadap kepentigan umum;
  2. Menggunakan keterangan yang diketahuinya palsu;
  3. Mengeluarkan atau menandatangani pernyataan palsu;
  4. Membuat pengakuan palsu tentang sesuatu perkara penting dengan pernyataan palsu;
  5. Pernyataan palsu yang dibuaat dalam suatu pernyataan yang boleh diterima disisi undang-undang sebagai keterangan;
  6. Menggunakan data sebagai “yang benar” pada semua pengakuan yang diketahuinya palsu.
  • Kejahatan terhadap jiwa;
  • Mengajak anak-anak atau orang gila untuk membunuh diri;
  • Kesalahan tentang perampokan secara gerombolan;
  • Pengedaran narkotik atau obar terlarang yang syarat tertentu.

Belanda

Belanda sebagai asalnya KUHP Indonesia, hukuman mati telah dihapus pada 17 September tahun 1870, Stb 162. 16 tahun sebelum Wetboek van Strafrecht (KUHP Belanda) disahkan, namun dikecualikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer, khususnya untuk delik-delik tertentu (kejahatan perang, pengkhianatan, dan lain-lain) yang terjadi di masa pendudukan,[11]terutama ketika tengah terjadi perang. Dengan demikian, praktis di negeri Belanda hukuman mati telah dihapuskan.

Berdasarkan sejumlah peraturan pemerintah yang dibuat Pemerintah Belanda dalam pengasingan di London pada masa berlangsungnya Perang Dunia II, pidana mati kembali dicakupkan ke dalam hukum pidana Belanda. Namun, berdasarkan amendemen Undang-Undang Dasar yang diberlakukan pada tanggal 17 Februari 1983 (Pasal 114) ditetapkan bahwa pidana mati (oleh hakim) tidak dapat lagi dijatuhkan. Bahkan juga dihapuskan pengenaan hukuman pidana mati dalam hukum pidana militer. Kini, rata-rata vonis bagi terdakwa pembunuhan berupa hukuman pidana antara 12 hingga 30 tahun.[12]

[1]) Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-4. (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), (hlm. 196).

[2]) Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka, 2014), (hlm. 390).

[3]) Inosentius Samsul, “Politik Hukum Pidana Mati”, Info Singkat Hukum P3DI Sekretariat Jendral DPR RI, Edisi No. 2 Tahun 2015, hlm. 3

[4])Ibid., hlm. 391

[5]) Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan ke-3. (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2013), (hlm. 239)

[6])Ibid., hlm. 240-241.

[7]) Ibid.,hlm. 230-231.

[8]) Eddy O.S. Hiariej, op.cit, hlm. 387-388

[9]) Tim Lambert, “A History Of The Death Penalty In The UK”, http://www.localhistories.org/capital.html. 20 Juni 2017, hlm. 1

[10]) Eddy O.S. Hiariej, op.cit, hlm.388-389

[11]) M. Ali Zaidan, “Moderasi Hukuman Mati”, http://nasional.kompas.com/read/2016/04/10/06100091/Moderasi.Hukuman.Mati?page=all. 20 Juni 2017, hlm. 1

[12]) Anonim, “Menimbang Hukuman Mati:  Antara Belanda dan Indonesia”, http://ksp.go.id/menimbang-hukuman-mati-antara-belanda-dan-indonesia/. 20 Juni 2012, hlm1

 
Leave a comment

Posted by on 3 August 2017 in Tak Berkategori

 

Perbandingan Hukum Pidana – Catatan Tahap Pra-Persidangan Bagian 1

Perancis

Kitab Undang-Undang yang disusun atas perintah Napoleon dikenal sebagai Code Napoleon. Salah satu diantaranya adalah codel penal (KUHP Perancis 1810). KUHAP Napoleon (1808) atau code d’instruction criminelle, berinkarnasi ke dalam KUHAP 1838 Belanda (wetboek van strafvordering) dan KUHAP negara-negara Eropa Barat dan Selatan, kemudian menyebar luas ke seluruh benua Eropa, termasuk ke Kesairan Rusia dan melintasi batas Eropa, ke negara-negara bekas jajahan negara-negara Eropa tersebut (termasuk Hindia-Belanda yang sekarang menjadi Republik Indonesia).

Dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Perancis, kekuasaan besar dan peranan penting jaksa penuntut umum (procureur de la republique), diimbangi hakim komisaris (juge d’instruction). Wewenangnya sangat besar, yaitu dapat membongkar kejahatan-kejahatan kelas kakap, hakim komisaris dijuluki umum sebagai “orang yang paling berkuasa di Perancis”. (Tentunya diwaktu itu sesudah kaisar).

Hakim komisaris bukan hakim yang menyidangkan perkara, melainkan hakim yang berwenang melakukan investigasi kejahatan berat (crime), dan kejahatan-kejahatan kurang berat (delit). Seperti KUHP Napoleon (1810), KUHP Perancis Baru (1994), membagi tindak pidana ke dalam tiga kategori, yaitu kejahatan berat (crimes), kejahatan kurang berat (delits) dan pelanggaran (contraventions).

Pelanggaran adalah tindak pidana yang diancam pidana denda maksimal € 3.000. Kejahatan kurang berat adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana denda diatas € 3.750. kategori ini mencakup antara lain pencurian, penggelapan, penipuan, dan tindak pidanaa narkotika / psikotropika sedang. Kejahatan berat adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara seumur hidup. Kategori ini mencakup antara lain pembunuhan, pemerkosaan, dan perampokan bersenjata.

Dalam investigasi kejahatan-kejahatan berat, ssperti pembunuhan berencana atau biasa, perkosaan, korupsi, dan kejahatan-kejahatan berat lainnya, merupakan keharusan bagi jaksa Perancis untuk meminta hakim komisaris melakukan investigasi. Akan tetapi dalam investigasi penganiayaan berat dan beberapa kejahatan kurang berat seperti pencurian, perampokan, penggelapan, dan penipuan jaksa boleh melakukan kekuasaan diskresinya, yaitu apakah akan meminta hakim komisaris atau melakukan investigasi sendiri.

Perbedaan hakim komisaris dengan jaksa adalah, jaksa berwenang melakukan investigasi atas inisiatif sendiri (karena jabatannya atau ex-officio), sedangkan hakim komisaris sejak kekuasaan Napoleon III berakhir, tidak lagi berwenang melakukan investigasi secara ex-officio. Artinya, selalu harus ada permintaan dari jaksa terlebih dahulu. Sementara itu, siapapun yang melakukan investigasi, apakah hakim komisaris atau jaksa, dalam praktik kesehariannya selalu dijalankan oleh polisi. Akan tetapi kalau mau, dapat memimpin sendiri investigasi yang akan dilakukan oleh polisi, kecuali apabila polisi melakukan invetigasi untuk memenuhi perintah (instruksi) hakim komisaris.

Tidak berbeda dengan negara-negara eropa kontinental lainnya, polisis (dan juga pasukan gendarmerie dari Kementerian Pertahanan) di Perancis, yang diberi wewenang melakukan investigasi diberi status polisi kehakiman (police judiciaire). Terhadap delik-delik aduan, investigasi oleh polisi kehakiman dapat dilakukan setelah ada pengaduan korban. Akan tetapi, terhadap delik biasa, investigasi dapat dilakukan (1) atas inisiatif sendiri (ex-officio); (2) setelah ada laporan korban (delik biasa); (3) atas perintah jaksa (procureur); (4) atas perintah hakim komisaris (juge d’instruction).

KUHAP 1958, seperti KUHAP Napoleon selalu dimutahirkan dengan diamandemen seperlunya tetapi berkesinambungan. Amandemen besar-besaran terhadap KUHAP 1958 terjadi di tahun 2000. Antara lain wewenang hakim komisaris untuk melakukan penahanan (juge des libertes et de la detention), dan pengawasan jaksa terhadap para penyidik lebih ditingkatkan. Dalam pada itu hakim komisaris masih berwenang memerdekakan tersangka, kapan saja dan juga masih berwenang menangkap seseorang, akan tetapi harus segera dihadapkan ke hakim penahanan.

Dalam sidang khusus, hakim penahanan memeriksa apakah tersangka harus ditahan atau tidak. Hakim penahanan memeriksa tersangka dengan didampingi pembela atau pengacaranya, berhadapan dengan jaksa. Menurut KUHAP Perancis, ada 17 kewajiban yang boleh dijatuhkan, sebagai syarat, terhadap seseorang tahanan yang diberi penangguhan. Kewajiban tersebut antara lain, yang bersangkutan :

  • Tidak boleh melintas batas negara;
  • Tidak meninggalkan rumah (tahanan rumah);
  • Tidak mendatangi tempat-tempat tertentu;
  • Wajib lapor berkala ke instansi berwenang;
  • Dipantau keberadaannya dengan memakai gelang elektronik;
  • Menyerahkan dokumen identitasnya, termasuk paspor yang dipegangnya.

Dan sejumlah syarat lain yang dapat memastikan, bahwa yang bersangkutan akan hadir sewaktu perkaranya akan disidangkan.

Jerman

Republik Federasi Jerman adalah negara federal dan bukan negara kesatuan seperti Perancis. Setelah Republik Demokrasi Jerman (Jerman Timur) menyatu, wilayah Jerman menjadi terdiri dari 16 negara bagian. Akan tetapi Jerman merupakan negara bersistem hukum kontinental eropa / civil law.

KUHP dan KUHAP Jerman berlaku untuk seluruh negara bagian, seperti di India dan Malaysia. Dalam pada itu Jerman tidak memiliki pengadilan federal (nasional). Yang ada hanya pengadilan negara bagian. Oleh karena itu, hakim merupakan pejabat negara bagian.

Adapun penuntutan dilakukan oleh jaksa negara bagian. Namun para jaksa itu bertanggung jawab kepada jaksa agung Jerman, berkedudukan di Karlruche, bukan di Bann atau di Berlin. Disamping ada kejaksaan pada masing-masing pengadilan di Jerman, terdapat sebuah kejaksaan federal yang bertugas menyidik dan menuntut kejahatan federal, seperti terorisme dan kejahatan terorganisir internasional, kejahatan lainnya yang merupakan kejahatan masing-masing negara bagian.

Jaksa di Jerman baik di tingkat negara bagian maupun di tingkat federal memiliki dominis litis, atau dikatakan orang merupakan sang penguasa perkara (master of the procedure). Dikatakan juga jaksa Jerman adalah “penjaga hukum dan undang-undang”. Dia berwenang mengawasi penyidikan sendiri, dengan bantuan polisi atau tidak. Walaupun demikian, umumnya jaksa Jerman memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada polisi untuk melakukan penyidikan sendiri.

Penyidikan terhadap kejahatan yang mengancam keamanan negara, seperti terorisme dan kejahatan terorganisir internasional merupakan wewenang jaksa federal dari kejaksaan federal, jaksa federal dibantu oleh Bundeskriminalamt atau polisi federal.

Polisi jerman melakukan investigasi pidana berdasarkan laporan, kecuali delik aduan, karena investigasinya harus berdasarkan aduan / pengaduan. Tentu saja polisi di Jerman boleh melakukan investigasinya karena jabatan (ex-officio). Jenis investigasi apapun, polisi harus melaporkan tindakannya ke kejaksaan. Dalam hal polisi ingin menahan tersangka, harus mengajukan permohonan kepada pengadilan melalui jaksa. Apabila dikabulkan, maka tersangka dapat ditahan hingga 6 bulan. Bila hakim menolak permohonan jaksa, tersangka harus dimerdekakan hari itu juga. Hanya kalau ada alasan-alasan yang kuat saja, terhadap tersangka pelaku kejahatan yang sangat berat, jaksa boleh mengajukan permohonan perpanjangan penahanan. Kalau hakim setuju, berarti tersangka dapat sampai 6 bulan lagi berada dalam tahanan, sambil menunggu sidang pengadilan. Lama penahanan oleh hakim selam 2 X 6 bulan dianggap masih wajar, mengingat kejahatan yang sangat berat dapat diancam dengan pidana antara 7 hingga 20 tahun penjara, bahkan untuk beberapa kejahatan dapat diancam dengan pidana penjara seumur hidup. Berdasarkan UUD 1949 (Pasal 102), hukuman mati di Jerman sudah dihapuskan sejak tahun 1949.

Tersangka dapat mengajukan peninjauan atas penahanannya setiap 3 bulan, agar dilepaskan sementara dari tahanan. Apabila hakim mengabulkan permohonannya, disaat manapun, maka tersangka menunggu hari persidangan pengadilan tanpa ditahan lagi. Di Indonesia pelepasan demikian disebut “penangguhan penahanan”. Menurut KUHAP Jerman, pelepasan penahanan harus disertai beberapa syarat atau jaminan. Dalam praktiknya, hakim yang melepaskannya memberikan tiga atau empat syarat.

Belanda

Polisi yang berada di kepolisian Belanda, yang diberi wewenang melakukan investigasi kriminal disebut polisi yudisial dan polisi kehakiman (gerechtelijk politie). Polisi tersebut diangkat oleh menteri kehakiman, tetapi tetap berada di kepolisian. Di Indonesia judicial police dapat disetarakan dengan bagian reskrim dari tingkat Mabes Polri hingga tingkat polsek. Bedanya, Reskrim di Indonesia bertanggungjawab pada masing-masing komandannya, bukan kepada kejaksaanm kepala kejaksaan tinggi, dan kepala jaksa agung.

Tindakan polisi Belanda, baik ex-officio maupun atas dasar laporan, atau dalam delik aduan atas dasar pengaduan, berada di bawah arahan dan pengawasan seorang jaksa yang dikenal di Belanda sebagai Officier van Justitie. Tentu saja para jaksa tersebut dipimpin oleh kepala kejaksaan (Hoofdofficier van Justitie). Sedangkan jaksa senior yang ada di Pengadilan Banding dan di Mahkamah Agung disebut Advocaat Generaal.

Setiap jaksa (officier van justitie) di suatu parket (kejaksaan), memiliki wilayah kerja atau sektor kerja dan bertanggung jawab atas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Seorang petugas penyidik yang melakukan tugasnya di sektor A akan berhubungan dengan jaksa untuk sektor A. Praktik demikian sudah berlangsung beratus-ratus tahun, yaitu sebelum Napoleon Bonaparte menggabungkan Belanda ke Kaisaran Perancis.

KUHAP Belanda yang berlaku sejak 1926 sampai kini terus menerus diamandemen, hingga tidak ketinggalan jaman. Kedudukan jaksa yang dominan tetap dipertahankan hingga sekarang ini, perubahan terpenting dalam KUHAP Belanda sekarang adalah pelemahan unsur-unsur inkuisitorial ditahap pra-persidangan dan penciptaan beberapa hak bagi tersangka atau terdakwa yang berguna untuk kepentingan pembelaan dirinya.

Dalam pada itu selain diawasi oleh jaksa, petugas polisi juga diawasi oleh hulpofficier van justitie atau asisten jaksa – dijabat oleh polisi senior. Karena asisten tersebut dapat menjalankan wewenang jaksa yang didelegasikan kepadanya, maka boleh juga polisi senior tersebut disetarakan dengan “deputi” atau “wakil” jaksa (onderofficier van justitie; deputy public prosecutors). Dalam hal suatu penangkapan diperlukan dengan segera, dan menghubungi jaksa sangat mungkin akan terjadi keterlambatan, maka petugas polisi dapat meminta surat perintah penangkapan kepada deputi jaksa (polisi senior) tersebut. Akan tetapi setelah penangkapan dilakukan, penyidik harus secepat mungkin memberitahukan jaksa.

Jaksa di Belanda berwenang melakukan penyidikan segala tindak pidana umum dan tindak pidana khusus, suatu pengamatan komisi parlemen Belanda menemukan, bahwa umumnya jaksa terlalu longgar / toleran terhadap kinerja polisi. Oleh karena itu pemerintah dan parlemen segera membuat dan mengesahkan undang-undang yang mengharuskan jaksa untuk memperketat pengawasannya terhadap polisi. Perubahan tersebut berlaku sejak tahun 2000.

Selain mengatur penahanan pra-persidangan, KUHAP Belanda mengatur penangkapan yang dilakukan oleh polisi (Ophouden voor verhoor; arrest for questioning). Pertama-tama, polisi dapat menangkap seseorang yang dicurigai selama 6 jam, tidak dihitung waktu antara tengah malam (jam 24.00) hingga pagi hari (jam 9.00). selama 9 jam tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan istirahat kepada orang yang ditangkap, sehingga yang bersangkutan tidak boleh diperiksa. Penahanan polisi (ophouden voor verhoor) tadi ditegaskan oleh yurisprudensi Mahkamah Agung Belanda 11 November 1947 untuk mengetahui identitas orang yang bersangkutan.

Secara singkat sistem penahanan menurut KUHAP Belanda, sebagai berikut :

  • Penangkapan polisi selama 6 jam (tidak dihitung waktu antara pukul 24.00 malam dan pukul 09.00 pagi);
  • Penahanan polisi selama tiga hari, boleh diperpanjang oleh jaksa menjadi enam hari;
  • Penahanan hakim komisaris (rechtercommissaris) atas permintaan jaksa selama 14 hari;
  • Penahanan atas perintah Pengadilan selama 30 hari berdasarkan permintaan jaksa, boleh diperpanjang dua kali (2 X 30 hari), berdasarkan permintaan jaksa, sehingga menjadi 90 hari.

Penahanan pengadilan 90 hari ditambah penahanan hakim komisaris selam 14 hari menjadi 104 hari. Oleh karena itu, jaksa diharuskan menyerahkan berkas perkara dilengkapi surat dakwaan ke pengadilan untuk disidangkan oleh hakim persidangan. Kalau tidak, tersangka harus dimerdekakan.

Dalam praktik, hal itu jarang terjadi, karena terdakwa yang berada dalam tahanan sangat diprioritaskan persidangannya. Lagi pula, jaksa akan menempuh prosedur pengajuan perkara yang bersangkutan ke pengadilan secara pro forma. Realitasnya, dalam kesempatan tersebut jaksa meminta pengunduran sidang. Permohonan demikian dalam persidangan semacam itu hampir selalu dikabulkan oleh hakim persidangan dengan sekaligus memerintahkan terdakwa tetap dalam penahanan. Sejak hari itu, status penahanan terdakwa dari “tahanan atas perintah pengadilan” beralih menjadi “tahanan dalam persidangan”. Tahanan jenis ini akan berlaku terus hingga 60 hari setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan berlaku terus hingga banding dan kasasi.

Dalam hal putusan peradilan yang berkekuatan tetap terjadi melampaui jangka waktu 60 hari dimaksud, penahanan dalam persidangan harus dihentikan pada terjadinya putusan peradilan menjadi berkekuatan tetap (inkracht van gewijsde / res judicata). Adakalanya, dalam hal perkara berat dan rumit, terjadinya peradilan menjadi berkekuatan tetap dimaksud dapat mencapai 4 tahun.

Jepang

Sebagai negara bersistem civil law atau eropa kontinental, penyidikan pidana (criminal investigation) menurut KUHAP Jepang tidak jauh berbeda dengan KUHAP negara-negara yang sudah diuraikan di atas. Hal mana tidak terlalu mengherankan mengingat KUHAP Jepang yang pertama berorientasi ke KUHAP Napoleon. Dalam perkembangannya, kemudian KUHAP Jepang berorientasi ke KUHAP Jerman. Dengan kata lain KUHAP Jepang pada dasarnya bertipe inkuisitor.

Tidak berbeda dengan sistem investigasi kriminal di negara-negara eropa kontinental, di Jepang investigasi dilakukan oleh polisi yudisial (judicial police) pada kepolisian dan berada dibawah arahan dan pengawasan jaksa. Sebanyak 90 % investigasi kriminal berasal dari investigasi polisi yudisial. Dalam kasus-kasus besar, jaksa di Jepang aktif melakukan penyidikan sendiri. Tampaknya, tanpa ada gesekan atau friksi, terjadi persaingan yang sehat diantara kedua instansi, sehingga kualitas penyidikan kriminal masing-masing instansi mantap dan terjaga.

Adapun polisi di Jepang terdiri lebih dari 48 organisasi, yaitu 1 polisi nasional (national police agency atau NPA) dan 47 polisi prefektur (prefectural police forces) atau polisi daerah yang bukan bawahan polisi nasional. Tindak tanduk dan perilaku anggotanya, juga pengelolaan manajemen dan anggaran polisi nasional diawasi oleh National Public Safety Commission (NPSC). Sedangkan polisi prefektur diawasi oleh Prefectural Public Safety Commission (PPSC) di masing-masing prefektur. Sekalipun demikian NPSC berwenang mengangkat kepala polisi prefektur dengan persetujuan perdana menteri dan PPSC. Sementara itu, NPA diberi mandat mengalokasikan anggaran ke kepolisian prefektur, maka baik NPSC dan NPA sedikit berpengaruh terhadap semua kepolisian prefektur yang mandiri tersebut. Sedangkan setipa Gubernur, sebagai kepala prefektur secara tidak langsung melalui PPSC, mengawasi kepolisian di prefekturnya.

Dalam hal polisi, asisten jaksa atau jaksa akan menangkap seseorang petugas atau pejabat yudisial dimaksud harus terlebih dahulu meminta surat perintah penangkapan dari hakim. Setelah menangkap seseorang, ia harus memberi tahu orang tersebut tindak pidana apa yang disangkakan serta memberitahukan haknya didampingi penasehat hukum. Dalam pada itu, sebelum diperiksa, tersangka harus diberi tahukan haknya untuk tidak menjawab dan harus diberi kesempatan untuk menjelaskan atas apa yang disangkakan kepadanya. Dalam waktu 48 jam, orang tersebut harus dihadapkan kepada jaksa, kalau tidak orang tersebut harus segera dimerdekakan.

Begitu menerima tersangka dari polisi, jaksa harus segera memeriksanya. Dalam waktu 24 jam setelah menerima tersangka, (selama 72 jam sejak penangkapan oleh polisi), apabila jaksa berpendapat harus dilakukan penahanan pra-persidangan, maka jaksa harus mengajukan permintaan kepada hakim. Menurut KUHAP Jepang, istilah untuk penahanan pra-persidangan adalah “penahanan pra-dakwaan”. Tahapan ini sangat penting, karena ditahap inilah jaksa menyaring, apakah penahanan pra-dakwaan diperlukan atau tidak.

Dalam hal penangkapan dilakukan oleh jaksa, bukan oleh polisi dalam waktu 48 jam jaksa harus melakukan proses seperti diuraikan tadi.

Setelah memeriksa segala dokumen dan bukti-bukti yang ada, serta memeriksa tersangkanya, hakim akan menahan tersangka untuk 10 hari, apabila menurut pendapatnya layak dilakukan penahanan setelah mempertimbangkan, bahwa tersangka tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, atau kalau tidak ditahan, ada kemungkinan tersangka akan merusak alat bukti atau akan melarikan diri. Untuk sebagian besar perkara, hakim selalu mengabulkan permohonan untuk penahanan pra-dakwaan, karena polisi atau jaksa didalam melakukan penangkapan selalu berhati-hati, yaitu tidak melakukan menangkapan kalau tidak perlu. Lagi pula jaksapun sangat ketat didalam menyaring perkara yang diterima dari polisi.

Setelah 10 hari penahanan pra-dakwaan berakhir, atas permintaan jaksa, hakim akan memperpanjang penahanan pra-dakwaan selam 10 hari lagi, kalau hakim memandang perlu dalam waktu 23 hari penahanan pra-dakwaan oleh hakim, jaksa harus memutuskan apakah akan menuntut tersangka. Kalau tidak akan menuntut, tersangka harus segerea dimerdekakan. Tindakan penangkapan atau penahanan merupakan upaya terakhir (ultimum remedium atau ultima ratio), dalam hal tertangkap tangan (flagrante delicto) penangkapan tidak ditunda-tunda.

Indonesia

Proses pencarian kebenaran berdasarkan hukum acara terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, proses investigasi pra-persidangan. Tahap kedua, proses pemeriksaan di persidangan pengadilan. Setelah berkenalan dengan pelbagai proses pidana dalam pelbagai negara bersistem civil law, sebaiknya kita mengenali kembali bagaimana proses pidana, ditahap pra-persidangan pengadilan di Indonesia menurut KUHAP 1981.

Secara ex-officio (karena jabatannya), penyidik polisi dapat melakukan penyidikan sendiri terhadap tindak pidana yang telah terjadi. Penyidikan dapat didahului suatu penyelidikan, dapat langsung dilakukan tanpa penyelidikan terlebih dahulu.

Dalam praktiknya, kebanyakan perkara pidana kecuali dalam hal tertangkap tangan (flagrante delicto) diawali dengan datangnya laporan kepada polisi, selanjutnya penyidik memanggil para saksi, kalau perlu mendatangkan saksi ahli untuk diminta penjelasan berdasarkan keahliannya, melakukan penyitaan dokumen dan barang bukti yang relevan. Berdasarkan hasil perolehan barang bukti dan alat bukti lain, serta memperhatikan petunjuk-petunjuk (corrobative evidence) yang ada, akhirnya penyidik akan memanggil tersangka. Jika tersangka langsung membenarkan keterangan para saksi dan mengenali barang-barang bukti, penyidikan perkara yang bersangkutan boleh dikatakan lancar melalui BAP termasuk hasil rekonstruksi terjadinya tindak pidana setelah diberkas, BAP diserahkan ke kejaksaan. Sementara itu tersangka dapat tidak ditahan; mungkin berada dalam tahanan; mungkin berada di luar tahanan dengan jaminan uang atau orang.

Tersangka tidak ditahan, karena tindak pidana yang dilakukannya memang tidak boleh ditahan. Sedangkan tersangka berada dalam tahanan, karena tindak pidana yang dilakukannya memang boleh ditahan. Penahanan boleh di rumah tahanan negara (RUTAN) atau di rumah (Tahanan Rumah), atau suatu kota (Tahanan Kota).

Di Indonesia, persyaratan untuk dapat menahan tersangka, yang berwenang mehanan harus menguji dahulu, apakah tindak pidana yang dilanggar boleh ditahan. Kalau boleh ditahan, apakah tersangkanya dikhawatirkan akan melarikan diri, atau akan merusak barang bukti, atau akan melakukan tindak pidana lagi. Sekalipun boleh ditahan, kalau tidak ada alasan kekhawatiran yang dimaksud maka tersangka tidak perlu ditahan.

Penahanan oleh penyidik lamanya 20 hari boleh diperpanjang oleh jaksa selama 40 hari. Penahanan oleh jaksa selama 30 hari boleh diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri selama 30 hari (mungkin tersangka dalam tingkat ini sudah menjadi terdakwa). Penahanan oleh hakim PN selam 30 hari boleh diperpanjang oleh ketua PN selama 60 hari. Penahanan oleh hakim pengadilan tinggi selama 30 hari dan boleh diperpanjang oleh ketua PT selama 60 hari. Penahanan oleh hakim agung selama 50 hari dan boleh diperpanjang oleh ketua MA selama 60 hari. Jumlah keseluruhan penahanan selama 400 hari atau setahun lebih.

Sementara itu KUHAP 1981 memperkenalkan proses pra-peradilan. Kalau disimak benar-benar, arti harfiah dan maksud istilah tersebut tidak selaras. Arti harfiahnya adalah tahapan pra-persidangan (pre-trial phase). Padahal lembaga pra-peradilan adalah proses yang dimaksudkan untuk memeriksa : (1) penangkapan / penahanan sah atau tidak; (2) apakah suatu penghentian penyidikan / penuntutan sah atau tidak. Pra-peradilan dimaksudkan juga untuk memeriksa permintaan ganti rugi dan/atau rehabilitasi akibat penangkapan / penahanan yang tidak sah atau akibat penghentian penyidikan yang tidak sah.

Kelahiran pra-peradilan dalam KUHAP 1981 merupakan adaptasi atas lembaga Habeas Corpus dari sistem peradilan pidana anglo-saxon. Sedangkan wewenang yang diberikan kepada hakim dalam proses peradilan lebih terbatas dibandingkan dengan wewenang hakim komisaris di negara-negara dengan tradisi civil law di eropa daratan (rechter commissaris, juge d’instruction, juez intrucion, juiz in trucao, dan sebagainya).

Apabila segala berita acara sudah diberkas oleh penyidik, BAP akan disampaikan ke kejaksaan untuk diteliti dan ditentukan apakah berkas sudah lengkap atau belum. Kalau belum lengkap, berkas akan dikembalikan ke penyidik untuk dilengkapi, baik mengenai pemeriksaan saksi maupun pemeriksaan tersangka. Kemudian juga dilengkapi dengan barang bukti yang belum disita. Dalam waktu secepatnya berkas yang sudah dilengkapi diserahkan kembali kepada jaksa penuntutnya. Kemungkinan lagi mengapa berkas dikembalikan, karena jaksa berpendapat perkara tersebut harus dipecah menjadi dua atau tiga berkas. Sebaliknya dapat terjadi, beberapa berkas yang diterima jaksa sebaiknya digabungkan.

Selanjutnya, apabila perkara perkara dianggap lengkap, jaksa harus segera membuat surat dakwaan dan kemudian menyerahkan berkas perkara ke pengadilan. Menurut KUHAP 1981, penyerahan berkas ke pengadilan itulah yang disebut penuntutan.

 
Leave a comment

Posted by on 3 August 2017 in Tak Berkategori

 

Sosiologi Hukum: Metode Pendekatan dan Fungsi Sosiologi Hukum (Ringkasan Buku: Zainuddin Ali. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2016)

METODE PENDEKATAN SOSIOLOGI HUKUM

Pengkajian hukum positif masih mendominasi pengajaran studi hukum pada fakultas hukum di Indonesia saat ini. Hal itu tidak mengherankan bila warga masyarakat yang mendiami Negara Republik Indonesia masih mengharapkan fakultas yang dimaksud dapat menghasilkan sarjana-sarjana yang mempunyai keterampilan untuk mengkaji problema-problema hukum. Untuk memenuhi harapan masyarakat tersebut, fakultas hukum cenderung menjadi suatu lembaga yang mendidik mahasiswa untuk menguasai teknologi hukum. Teknologi hukum yang dimaksud adalah menguasai hukumnya sebagai sesuatu persoalan tertentu yang terjadi serta bagaimana melaksanakan atau menerapkan peraturan-peraturan hukum. Hal itu dapat disebut pengkajian hukum melalui pendekatan yuridis normatif.

Selain pendekatan yuridis normatif dalam pengkajian hukum tersebut, hukum juga masih mempunyai sisinya yang lain, yaitu hukum dalam kenyataannya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Hukum dalam kenyataan yang dimaksud, bukan kenyataan dari bentuk pasal-pasal dalam perundang-undangan, melainkan sebagaimana hukum itu dioperasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari hari. Jika mempelajari hukum dalam kenyataannya yang demikian itu, maka harus keluar dari batas-batas peraturan hukum dan mengamati praktik-praktik dan/atau hukum sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang didalam masyarakat. Pengkajian hukum yang seperti inilah disebut pendekatan yuridis empiris.

Yuridis empiris atau yang biasa disebut sosiologi hukum merupakan suatu ilmu yang muncul dari perkembangan ilmu pengetahuan hukum dan dapat diketahui dengan mempelajari fenomena sosial dalam masyarakat yang tampak aspek hukumnya. Oleh karena itu, adanya pengetahuan tersebut diharapkan terus mengangkat derajat ilmiah dari pendidikan hukum. Pernyataan ini dikemukakan atas asumsi bahwa sosiologi hukum dapat memenuhi tuntutan ilmu pengetahuan modern untuk melakukan atau membuat : (1) deskripsi, (2) penjelasan, (3) pengungkapan (revealing), dan (4) prediksi.

Jika keempat hal diatas merupakan tuntutan ilmu pengetahuan hukum saat ini sebagai dampak “modernisasi” maka harus diakui dengan jujur bahwa pendidikan hukumn dalam kajian juridprudence model : rules (normative), logic, practical, dan decision yang bersifat terapan, tidak mampu memberikan pemahaman hukum yang utuh.

Sosiologi hukum bersama ilmu empris lainnya akan menempatkan kembali konstruksi hukum yang abstrak ke dalam struktur sosial yang ada, sehingga hukum menjadi lembaga yang utuh dan realistis. Selain itu, sosiologi hukum bersama ilmu empiris lainnya niscaya dapat memberikan sahamnya untuk memahami dan menjelaskan proses-proses hukum di Indonesia bila hukum itu dilihat dari struktur sosial  masyarakatnya. Karena itu, pemahaman secara legistis-positivistis dapat mengakibatkan kekakuan pemahaman terhadap hukum.

Untuk menggambarkan objek kajian sosiologin hukum secara rinci, perlu dikemukakan perbandingan objek kajian yuridis empiris dengan objek kajian yuridis normatif dibawah ini.

PERBANDINGAN YURIDIS EMPIRIS DENGAN YURIDIS NORMATIF

Untuk membedakan pendekatan sosiologi hukum atau pendekatan yuridis empiris (pendekatan kenyataan hukum dalam masyarakat), dengan pendekatan yuridis normatif, perlu diuraikan lebih dahulu yang dimaksud pendekatan yuridis empiris atau ilmu kenyataan hukum dalam masyarakat, antara lain akan dijelaskan sebagai berikut :

  • Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis.
  • Antroplogi hukum adalah ilmu yang mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya pada masyarakat sederhana dan pada masyarakat modern.
  • Psikologi hukum adalah ilmu yang mempelajari perwujudan dari jiwa manusia.
  • Sejarah hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum positif pada masa lampau/Hindia Belanda sampai dengan sekarang.
  • Perbandingan hukum adalah ilmu yang membandingkan sistem-sistem hukum yang ada di dalam suatu negara atau antarnegara.

Berdasarkan uraian-uraian yang dilengkapi dengan contoh-contoh diatas,pendekatan yuridis empiris atau pendekatan kenyataan hukum dalam masyrakat dapat dipahami berbeda dengan pendekatan yuridis normatif/pendekatan doktrin hukum. Adapun perbedaannya antara lain, sebagai berikut :

Perbandingan Yuridis Empiris Yuridis Normatif
Objek Sociological model Jurisprudence model
Fokus Social structure Analisis aturan (rules)
Proses Perilaku (behavior) Logika (logic)
Pilihan (purpose) Ilmu Pengetahuan (scientific) Praktis (practical)
Tujuan (goal) Penjelasan (explanation) Pengambilan keputusan (decision)

Tabel di atas menunjukkan objek kajian sosiologi hukum. Dalam hal itu akan diuraikan 3 (tiga) buah konsep sebagai berikut:

Model Kemasyarakatan (Sociological Model)

Model kemasyarakatan adalah bentuk-bentuk interaksi sosial yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dimaksud mempunyai beberapa istilah yang sering di gunakan dalam kajian sosiologi, yaitu (1) interaksi sosial, (2) sistem sosial, (3) perubahan sosial. Hal itu  akan dijelaskan sebagai berikut.

Interaksi Sosial

Interaksi sosial  adalah istilah yang dikenal oleh para ahli sosiologi secara umum sebagai aspek inti bagi berlangsungnya kehidupan bersama. Interaksi sosial berarti suati kehidupan bersama yang menunjukkan dinamikanya, tanpa itu masyarakat akan kurang atau bahkan tidak mengalami perkembangan.

Menurut Soerjono Soekanto, interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorang, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

Sistem Sosial

Sistem sosial dapat diartikan secara umum sebagai keseluruhan elemen atau bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain, sehingga terbentuk satu kesatuan atau kesinambungan. Kesinambungan ini senantiasa harus dijaga dan dipelihara demi menjaga keutuhan sistem. Apabila satu bagian sistem tidak fungsional terhadap lainnya, sistem tersebut akan rusak dengan sendirinya.

Perubahan Sosial

     Perubahan-perubahan sosial merupakan suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima yang disebabkan baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat tertentu.

     Selo Soemarjan mengemukakan seperti yang dikutip oleh Soerjono Soekanto : bahwa perubahan-perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Struktur Sosial

     Struktur sosial adalah suatu jalinan yang secara relatif tetap antara unsur-unsur sosial. Unsur-unsur sosial yang pokok adalah kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga kemasyarakatan, kelompol-kelompok sosial dan lapisan-lapisan sosial.

     Selain itu, sturktur sosial sebagai tujuan pendefinisian dan alat operasional telah merupakan sebagian dari sejumlah perhatian utama antropologi. Bahkan, ada sejumlah tokoh antropologi yang menganggap bahwa struktus sosial adalah satu-satunya perhatian utama dalam antropologi, sehingga menjadikannya sebagai suatu kekuatan pendorong bagi pembentukan teori-teori dalam antroplogi.

Perilaku (Behavior)

     Perilaku, perangai, tabiat, adat istiadat atau yang disebut behavior pada objek kajian sosiologi hukum di atas, merupakan kenyataan hukum dalam masyarakat, sehingga terkadang apa yang dicita-citakan oleh masyarakat dalam mewujudkan kepastian hukum justru tidak sesuai dari apa yang diharapkan. Perangai dimaksud juga biasa disebut tabiat atau akhlak.

     Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Akhlak adalah hal ihwal yang melekat dalam jiwa, daripadanya timbul perbuatan-perbuatan yang mudah tanpa dipikirkan dan diteliti oleh manusia. Bila hal ihwal atau tingkah laku itu menimbulkan perbuatan-perbuatan yang baik lagi terpuji oleh bakal dan syara’, tingkah laku itu dinamakan akhlak yang baik. Sebaliknya, bila menimbulkan perbuatan-perbuatan yang buruk, tingkah laku itu dinamakan akhlak yang buruk.

     Akhlak atau sistem perilaku dapat diwujudkan melalui sekurang-kurangnya dua pendekatan , yang antara lain sebagai berikut.

Rangsangan

Rangsangan adalah perilaku manusia yang terwujud karena adanya dorongan dari suatu keadaan. Keadaan yang dimaksud itu , bterwujud karena adanya :

  • Latihan;
  • Tanya jawab;
  • Mencontoh;
  • Dan sebagainya.

Kognitif

Kognitif adalah penyampaian informasi yang didasari oleh dalil-dalil Alquran dan Alhadist, teori-teori, dan konsep-konsep. Hal-hal tersebut yang dimaksudkan dapat diwujudkan melalui :

  • Dakwah;
  • Ceramah;
  • Diskusi;
  • Drama;
  • dan sebagainya.

     Dari dua pendekatan tersebut dapat diwujudkan pola perilaku manusia yang berakhlak.

Ruang lingkup yang menjadi objek kajian akhlak, antara lain yaitu:

  • Akhlak yang berhubungan dengan Allah;
  • Akhlak yang berhubungan dengan diri sendiri;
  • Akhlak yang berhubungan dengan keluarga;
  • Ahklak yang berhubungan dengan masyarakat;
  • Ahklak yang berhubungan dengan alam.

HUKUM SEBAGAI SOSIAL KONTROL

       Sosial kontrol (social control) biasanya diartikan sebagai suatu proses, baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak  atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai-nilai yang berlaku.

Perwujudan social control tersebut mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi, maupun konsiliasi.

  • Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan, yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan (sanksi negatif) bagi pelanggarnya. Dalam hal ini bila kepentingan-kepentingan dari suatu kelompok dilanggar, inisiatif datang dari seluruh warga kelompok (yang mungkin dikuasakan kepadab pihak tertentu).
  • Standar atau patokan pada kompensasi adalah kewajiban, dimana inisiatif yntuk memperosesnyab ada pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan akan meminta ganti rugi, oleh karena pihak lawan melakukan wanprestasi. Di sini ada pihak yang kalah dan pihak yang menang, seperti halnya dengan pemidanaan yang sifatnya akusator.
  • Berbeda dengan kedua hal di atas, terapi maupun konsiliasi sifatnya “remedial” artinya mengembalikan situasi (interaksi sosial) pada keadaan yang semula. Oleh karena itu, yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan yang tidak menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi, standarnya adalah normalitas, keserasian, dan kesepadanan yang biasa disebut keharmonisan.

Setiap kelompok masyarakat selalu memiliki problem sebagai akibat adanya perbedaan antara yang ideal dan yang aktual, antara yang standar dan yang praktis, antara yang seharusnya atau yang diharapkan untuk dilakukan dan apa yang dalam kenyataan dilakukan. Oleh karena itu fungsi hukum dalam kelompok yang dimaksud diatas adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu.

       Suatu kelomopok masyarakat pada suatu tempat tertentu hancur, bercerai-berai atau punah bukanlah disebabkan hukum gagal difungsikan untuk melaksanakan tugasnya, melainkan tugas hukum harus dijalankan untuk menjadi sosial kontrol dan social engineering di dalam kehidupan masyarakat.

HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK MENGUBAH MASYARAKAT

Selain sebagai kontrol sosial, hukum juga berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat atau biasa disebut social engineering. Alat pengubah masyarakat yang dimaksudkan oleh Roscoe Pound, dianalogikan sebagai suatu proses mekanik. Hal itu terlihat dengan adanya perkembangan industri dan transaksi-transaksi bisnis yang memperkenalkan nilai dan norma baru. Peran “pengubah” tersebut dipegang oleh hakim melalui “interpretasi” dalam mengadili kasus yang dihadapinya secara “seimbang” (balance). Interpretasi-interpretasi tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal berikut ini :

  1. Studi tentang aspek sosial yang aktual dari lembaga hukum;
  2. Tujuan dari pembuat peraturan hukum yang efektif;
  3. Studi tentang sosiologi dalam mempersiapkan hukum;
  4. Studi tentang metodologi hukum;
  5. Sejarah hukum;
  6. Arti penting tentang alasan-alasan dan solusi darin kasus-kasu individual yang pada angkatan terdahulu berisi tentang keadilan yang abstrak dari suatu hukum yang abstrak.

       Keenam langkah tersebut perlu diperhatikan oleh hakim atau praktisi hukum dalam melakukan “interpretasi” sehingga perlu ditegaskan, bahwa dengan memperhatikan temuan-temuan tentang keadaan sosial masyarakat melalui  bantuan-bantuan ilmu sosiologi, akan terlihat adanya nilai-nilai atau norma-norma tentang “hak” individu yang harus dilindungi, unsur-unsur tersebut kemudian dipegang oleh masyarakat dalam mempertahankan apa yang disebut dengan hukum alam (natural law).

       Roscoe Pound mengemukakan bahwa agar hukum dapat dijadikan sebagai agen dalam perubahan sosial atau yang disebutnya dengan agent of social change yang mana hukum memuat prinsip, konsep atau aturan, standar tingkah laku, doktrin-doktrin, dan etika profesi, serta semua yang dilakoni oleh “individu” dalam usaha memuaskan kebutuhan dan “kepentingannya”. Maka pendapatnya dikuatkan oleh Williams James yang menyatatakan bahwa “di tengah-tengah dunia yang sangat terbatas dengan kebutuhan (kepentingan) manusia yang selalu berkembang, maka dunia tidak akan dapat memuaskan kebutuhan (kepentingan) manusia tersbut. “ Di sini terlihat bahwa James mengisyaratkan “hak” individu yang selalu dituntut untuk dipenuhi demi terwujudnya suatu kepuasan, tidak akan pernah terwujud sepenuhnya, dan akan selalu ada pergeseran-pergeseran antara “hak” individu yang satu dengan “hak” individu yang lainnya.

       Untuk itulah dituntut peran peraturan hukum (legal order) untuk “mengarahkan” manusia menyadari “keterbatasan dunia” tersebut, sehingga mereka berusaha untuk membatasi diri dengan mempertimbangkan sendiri tuntutan terhadap pemuasan dan keamanan kepentingannya. Tuntutan  yang sama juga akan diajukan oleh individu lain sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai atau berada dalam keadaan keseimbangan (balance).

       Hukum sebagai social engineering itu sendiri berkaitan dengan fungsi dan keberadaan hukum sebagai pengatur dan penggerak perubahan masyarakat, maka interpretasi analogi Pound mengemukakan “hak” yang bagaimanakah yang seharusnya diatur oleh hukum, dan “hak-hak” yang bagaimanakah yang dapat dituntut oleh individu dalam hidup bermasyarakat. Pound mengemukakan bahwa yang merupakan “hak” itu adalah kepentingan atau tuntutan-tuntutan yang diakui, diharuskan, dan dibolehkan secara hukum, sehingga tercapai suatu keseimbangan dan terwujudnya apa yang dimaksud dengan ketertiban umum.

 

 
2 Comments

Posted by on 5 June 2017 in Tak Berkategori

 

CONTOH PENELITIAN DAN PENULISAN KARYA ILMIAH HUKUM: PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

A. LATAR BELAKANG

            Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik yang merupakan negara hukum. Pengertian tersebut ialah salah satu prinsip dasar yang mendapatkan penegasan dalam UUD 1945 sebagai prinsip negara hukum. Prinsip tersebut tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Secara historis, negara hukum adalah negara yang diidealkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana dituangkan dalam penjelasan umum UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara yang menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pengertian Negara Hukum ialah negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang, sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan pada hukum. Rakyat tidak boleh melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Negara Hukum itu adalah Negara yang diperintah bukan oleh orang-orang, tetapi oleh undang-undang (state the not governed by men, but by laws). Oleh karena itu setiap sikap, kebijakan, tindakan atau prilaku alat negara dan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara taat pada aturan atau hukum yang berlaku, hal itu berlaku sama bagi setiap warga negara, tidak terkecuali terhadap Presiden sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan.

            Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan tentu memiliki tanggung jawab dan kewenangan atas kedua jabatan tersebut. UUD 1945 sebelum amandemen memberikan kekuasaan sangat besar kepada Presiden Republik Indonesia. Besarnya kekuasaan tersebut dalam prakteknya disalahgunakan sehingga sering terjadi penyimpangan dari tujuan dibentuknya suatu Negara Hukum dan Negara demokrasi, terjadinya pemerintahan yang otoriter, sentralistis, tertutup dan penuh KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Setelah perubahan UUD 1945, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan memiliki kewenangan atau kekuasaan penuh dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, hal itu dimuat pada Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.”. Menurut Bagir Manan, bila ditinjau dari teori pembagian kekuasaan, yang dimaksud kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan eksekutif, penyelenggaraan pemereintahan yang dilaksanakan presiden dapat dibedakan antara kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan kekuasaan pemerintahan yang bersifat khusus.[1]

            Membaca sekilas dari uraian di atas dapat tergambarkan betapa besar kekuasan Presiden sebagai kepala pemerintahan untuk menentukan arah pemerintahan selama masa jabatannya, seyogianya dari kekuasaan tersebut tentu harus diminta pertaggungjawabannya, baik dalam masa jabatan maupun saat akan mengakhiri masa jabatan tersebut. Selain dari pertanggungjawaban atas kekuasaan atau kewenangannya tersebut, Presiden sebagai kepala pemerintahan juga dapat diberhentikan pada saat masa jabatannya berlangsung, apabila dipandang melanggar ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Mekanisme pemberhentian (impeachment) juga dinilai sebagai salah satu upaya dalam penegakkan hukum dan suatu mekanisme dimana suatu mandat yang diberikan kepada presiden apabila disalah gunakan atau dikhianati dapat dicabut, karena kekuasaan yang dipegang oleh presiden didapatkan berkat mandat yang diberikan oleh seluruh rakyat Indonesia yang dimana mandat tersebut menitikberatkan pada suatu harapan dan tujuan guna terciptanya kepemimpinan yang sesuai hukum, dan oleh karena itu segala tindakan presiden selayaknya harus patuh dan didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau mendahului perbuatan yang dilakukan demi keadilan dan kepastian hukum. Dalam menjalankan pemerintahan, Presiden dibantu oleh seorang wakil presiden yang kemudian bertindak sebagai lembaga eksekutif negara. Pembagian kekuasaan di Indonesia menempatkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) sebagai lembaga legislatif dan menempatkan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yudikatif yang dilengkapi Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga negara pengawasan. Pembagian kekuasaan negara tersebut bertujuan memenuhi mekanisme check and balances. Mekanisme ini berwujud saling mengawasi satu sama lain sehingga pertanggungjawaban setiap lembaga negara, termasuk presiden kepada rakyat lebih transparan. Berlakunya mekanisme saling mengawasi antar lembaga negara di Indonesia juga untuk mengurangi penyalahgunaan wewenang (detournement) yang kiranya sering terjadi dewasa ini.

            Impeachment atau pemakzulan di Indonesia merupakan bahasa serapan dari bahasa Arab yang berarti diturunkan dari jabatan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan, makzul adalah meletakkan jabatan; turun tahta raja. Istilah ini sama dengan impeachment yang dikenal lebih dulu dalam konstitusi negara-negara Barat. Pemakzulan (impeachment) adalah sebuah proses di mana sebuah badan legislatif secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Pemakzulan bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan jabatan, namun hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga hanya merupakan langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan. Saat pejabat tersebut telah dimakzulkan, ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian menyebabkan pemecatan sang pejabat. Istilah to impeach menurut Webster’s New World Dictionary berarti “to bring (a public official) before the proper tribunal on the charges of wrong doing”. Sementara impeachment itu sendiri sinonim dengan kata accuse yang berarti mendakwa atau menuduh. Sementara Encyclopedia Britanica menguraikan pengertian impeachment sebagai “a criminal proceeding instituted against a public official by a legislative body”. Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari presiden.

            Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga impeachment itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal, proses permintaan pertanggungjawaban yang disebut impeachment itu tidak selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang dimintai pertanggungjawaban. Beberapa kasus yang terjadi di Amerika Serikat dan juga kasus impeachment atas Roh Moo Hyun di Korea Selatan, telah menunjukkan bahwa proses pendakwaan tidak identik dengan pemberhentian presiden. Pendakwaan yang diproses pada awalnya oleh parlemen tidak selalu berakhir dengan berhentinya presiden atau wakil presiden atau presiden lainnya dari jabatannya. Sebagai contoh, Presiden Amerika Serikat Bill Cinton di’impeach’oleh House of Representative, tetapi dalam persidangan Senat tidak dicapai jumlah suara yang diperlukan, sehingga kasus Bill Clinton tidak berakhir dengan pemberhentian. Karena itu, harus dibedakan antara perkataan impeachment dengan removal from office yang berarti pemberhentian dari jabatan. Seperti dikatakan oleh Jethro K. Lieberman, “Impeachment is the means by which the federal officials may be removed from office for misbehavior ”.

            Lembaga impeachment ini hanyalah sebuah sarana untuk memungkinkan dilakukannya pemberhentian terhadap presiden, tetapi hasilnya tergantung proses pembuktian hukum dan proses politik yang menentukan kemungkinan dilakukan atau tidaknya pemberhentian itu. Sidang impeachment merupakan sidang politik, sehingga padanya tidak dikenal sanksi pidana denda maupun kurungan. Namun demikian, setelah di-impeach, seorang presiden dapat disidangkan kembali dalam peradilan  umum dengan proses penuntutan yang dimulai dari awal sesuai dengan dakwaan  yang ditujukan atasnya, sehingga dapat kita simpulkan, bahwa sidang untuk memakzulkan Presiden adalah sidang yang berdiri sendiri pada substansi pemberhentian Presiden saja. Proses impeachment merupakan salah satu kekuasaan yang dipegang oleh lembaga legislatif sebagai bentuk dari fungsi kontrol parlemen atas tindak-tanduk presiden yang telah diberikan amanat oleh rakyat untuk menjalankan  tugas dan kewajibannya, apabila semasa jabatannya presiden tersebut melakukan pelanggaran baik yang telah diatur oleh konstitusi maupun hukum  positif yang berlaku, maka terhadap yang bersangkutan dapat dihadapkan pada proses impeachment yang mengarah pada pemecatan yang bersangkutan dari jabatannya.[2]

            Pasca amandemen ketiga UUD 1945 Mahkamah konstitusi akhirnya lahir sebagai lembaga yang peradilan dalam impeachment terhadap presiden, dengan bertumpu pada Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang.”. Ketentuan tersebut dirumuskan secara berbeda dibanding dengan wewenang yang dirumuskan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 tersebut terkait dengan ketentuan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Dengan demikian maksud dari frasa “dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar” adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945. Adanya ketentuan tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya dalam UUD 1945 pasca perubahan tersebut memunculkan istilah baru dalam bidang hukum tata negara, yaitu impeachment dan pemakzulan. Pemakzulan merupakan proses pemberhentian seorang pejabat publik dalam masa jabatannya, atau sebelum masa jabatan tersebut berakhir atau disebut dengan istilah removal from office. Dalam proses pemakzulan tersebut terdapat mekanisme impeachment, yaitu pendakwaan atas suatu perbuatan tertentu yang dapat menjadi alasan pemberhentian.

            Pasal 7A UUD 1945 menyatakan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Dari ketentuan tersebut nyatalah bahwa Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Di samping itu pasal tersebut mengatur secara limitatif jenis pelanggaran apa yang dapat menyebabkan seorang dapat dimakzulkan.

            Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Melihat uraian diatas terlihat sudah perbedaan yang terjadi dalam proses pemakzulan menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah dilakukan amandemen adalah bahwa setelah amandemen, proses pemakzulan harus melewati tahapan yang lebih panjang, yakni dengan adanya lembaga peradilan khusus ketatanegaraan yang namanya “Mahkamah Konsitusi”, suatu lembaga yang tidak terdapat dalam ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen.

            Hadirnya Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa di Indonesia dalam perkara pemakzulan Presiden menganut sistem campuran, yaitu sistem “impeachment” dan “forum previlegiatum” seperti dinyatakan oleh Prof. Dr. Moh. Mahfud MD (2007)

“Jika digali dari berbagai konstitusi yang ada di dunia, secara teoritis cara penjatuhan Presiden dan/atau Wapres menurut UUD 1945 hasil amandemen menggunakan sistem campuran antara sistem impeachment dan sistem forum previlegiatum. Dengan impeachment dimaksudkan bahwa Presiden dijatuhkan oleh lembaga politik yang mencerminkan wakil seluruh rakyat melalui penilaian dan keputusan politik dengan syarat-syarat dan mekanisme yang ketat. Sedangkan forum previlegiatum adalah penjatuhan Presiden melalui pengadilan khusus ketatanegaraan yang dasarnya adalah pelanggaran hukum berat yang ditentukan di dalam konstitusi dengan putusan hukum pula”. Dimaksudkan dengan sistem impeachment disini adalah penilaian dan keputusan politik di DPR, sedangkan forum previlegiatum dimaksudkan adalah pengadilan ketatanegaraan oleh MK. Jadi sebagaimana diuraikan di atas, UUD 1945 mengatur impeachment dalam dua tahap.[3]

            Melihat ke belakang sebelum lahirnya Mahkamah Konstitusi dan sebelum amandemen UUD 1945 , dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia telah terjadi pemberhentian presiden sebanyak dua kali yaitu pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Hal yang menjadi penyebab terjadinya peristiwa ketatanegaraan tersebut ialah sengketa antara dua lembaga negara yakni DPR yang di satu sisi berhadap-hadapan dengan Presiden di sisi yang lain. Sejarah mencatat perseteruan antara DPR dengan Presiden di Indonesia yang pertama kali terjadi adalah pada tahun 1966-1967 dimana Presiden Soekarno tidak memberi progress report kepada MPRS. Secara de facto, perkembangan situasi kenegaraan yang terjadi pada waktu itu memang tidak memihak kepada Presiden Soekarno. Dengan kata lain, secara politis dukungan kepada Presiden Soekarno sangat kecil atau hampir habis. Sehingga dalam Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, MPRS mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari tangan Presiden Soekarno dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967. Substansi ketetapan MPRS tersebut juga termuat yang menggantikan kedudukan Presiden yaitu Jenderal Soeharto.

            Perseteruan antara DPR dengan Presiden yang kedua kalinya terjadi pada tahun 2001 dimana antara DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1999 dengan Presiden Abdurrahman Wahid yang diangkat oleh MPR hasil Pemilu 1999 mengalami perseteruan yang berlanjut mosi tidak percaya DPR atas Presiden Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur. Atas mosi tidak percaya hasil perseteruan tersebut kemudian berlanjut pemberhentian atau lengsernya Presiden Abrurrahman Wahid dari jabatan kepresidenan melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001 dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001. Dalam TAP MPR tersebut dimuat materi pencabutan kekuasan negara dari tangan Presiden Abdurrahman Wahid yang digantikan oleh Megawati Soearnoputri sebagai Wakil Presiden saat itu. Kemudian jabatan Wakil Presiden digantikan oleh Hamzah Haz berdasarkan ketetapan tersebut.[4]

            Pada masa itu meskipun dikategorikan dalam sistem Presidensiil, namun UUD 1945 sebelum amandemen tidak mengatur, baik secara eksplisit dan detail mekanisme impechment seperti sekarang sehingga timbul pertanyaan dari ketentuan mana dan bagaimana impeachment dilaksanakan. Pasal 8 UUD 1945 hanya mengatur tentang penggantian kekuasaan dari Presiden kepada Wakil Presiden jika Presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya. Pada masa ini terjadi kekosongan konstitusi (constitutionale vacuum) tentang impeachment dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Kekosongan konstitusi tersebut menyebabkan tidak adanya aturan, baik secara materiil maupun formil yang mengatur tentang jalannya impeachment seperti sekarang ini. MPR pada waktu itu menjelma sebagai satu-satunya lembaga yang memegang kendali dan pemutus terhadap dakwaan yang dipelopori oleh DPR, tidak ada suatu mekanisme atau jalan bagi presiden untuk membela dirinya, menyangkal dari dakwaan yang ditujukan kepadanya dalam suatu forum yang benar-benar adil dan tidak memihak dalam suatu proses pembuktian seperti pada saat ini ketika lahirnya Mahkamah Konstitusi. Sebelum adanya Mahkamah Konstitusi, impeachment tanpa adanya forum previlegiatum dinilai syarat dengan kepentingan politik dan bergantung pada suatu konfigurasi dan dinamika politik walaupun tidak lupa juga memperhatikan faktor-faktor hukumnya, oleh karena itu kekuatan politik akan menjadi faktor determinan dan tidak pernah terlepas dari faktor hukum yang ada dalam proses impeachment tersebut.

            Setelah mencoba membandingkan mekanisme pemakzulan (impeachment) pasca perubahan ketiga UUD 1945 dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang membuktikan dakwaan DPR dan UUD 1945 sebelum amandemen dimana pemakzulan (impeachment) dikendalikan dan diputus sepenuhnya oleh MPR, maka timbul suatu pertanyaan bagaimana MPR mengadili seorang Presiden yang dimakzulkan bila dilihat dari konfigurasi kekuatan politik dan apakah konfigurasi kekuatan politik tersebut menjadikan terlupakannya norma-norma konstitusi atau norma-norma peradilan pada umumnya, seperti keadilan dan ketidakberpihakan sehingga proses impeachment sebelum adanya forum previlegiatum benar-benar hanya bergantung pada konstelasi dan konfigurasi kekuatan politik saja sehingga Presiden benar-benar tidak punya jalan dalam proses pembuktian terhadap dakwaan yang ditujukan kepadanya.

            Berdasarkan uraian-uraian yang telah disampaikan di atas, penulis akhirnya tertarik untuk melakukan penelitian yang berbentuk suatu Rancangan Proposal dengan judul : “PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA”

B. POKOK MASALAH

           Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis kemukakan di atas, selanjutnya dapat di tegaskan bahwa yang menjadi pokok masalah di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimana mekanisme pelaksanaan Pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden menurut UUD 1945 ?
  1. Bagaimana mekanisme Presiden untuk membela diri terhadap dakwaan yang dituduhkan ?
  1. Bagaimana sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pemakzulan (impeachment) ?

 

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

C1. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah :

  1. Untuk memahami bagaimanakah mekanisme pelaksanaan Pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden menurut UUD 1945.
  1. Untuk memahami bagaimana mekanisme Presiden untuk membela diri terhadap dakwaan yang dituduhkan.
  1. Untuk memahami sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pemakzulan (impeachment).

 

C.2 KEGUNAAN PENELITIAN

Dengan dilakukannya sebuah penelitian, penulis berharap dari hasil penelitian ini bermanfaat bagi:

  1. Untuk Penulis sendiri, agar lebih bisa mempelajari, mendalami dan mencari materi-materi yang berkenaan dan/atau persis dengan judul penelitian ini. Sehingga lebih memahami mengenai permasalahan-permasalahannya.
  1. Untuk Mahasiswa dan Kalangan umum, agar bisa dijadikan sebagai salah satu sumber bacaan dan/atau referensi, baik untuk media pembelajaran penelitian-penelitian maupun materi-materi, khususnya dibidang Hukum Tata Negara.

 

D. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

D.1 KERANGKA TEORI

D.1.1 Hukum

     Apabila muncul suatu pertanyaan mengenai apa itu hukum, sejak dulu para sarjana hukum satu dengan yang lainnya memiliki pengertian yang beragam, bahkan hingga kini orang-orang masih mencari-cari suatu definisi hukum yang dapat diterima oleh semua kalangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Van Apeldoorn bahwa, “tidaklah mungkin memberikan suatu definisi tentang apakah hukum itu, adalah sangat sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan”. Bahkan hal itu tidak terlepas dari apa yang telah diucapkan Immanuel Kant beberapa abad yang lalu bahwa, “tidak ada seorang sarjana hukumpun yang mampu membuat satu definisi hukum yang tepat”. Namun demikian, walaupun sulit untuk memberikan definisi hukum, terdapat beberapa pakar hukum yang telah mencoba memberikan definisi hukum dan hal itu penting untuk dicermati. Berikut ini adalah definisi-definisi dari berbagai sumber atau pakar hukum:

  1. Sudikno Mertokusumo

Hukum adalah sekumpulan peraturan-peraturan atau kaidah dalam suatu kehidupan bersama; keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.[5]

  1. C.T Simorangkir

Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan tingkah laku manusia dalam masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan dengan hukum tertentu.

  1. Mochtar Kusumaatmadja

Hukum adalah sebagai suatu perangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tapi harus pula mencakup lembaga (institusi) dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.

     Dilihat dari definis tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi unsur, ciri, dan sifat hukum adalah:

  1. Hukum merupakan suatu kaidah, yaitu patokan perilaku manusia dalam pergaulan hidup di masyarakat;
  2. Hukum terdiri dari perintah dan larangan;
  3. Hukum itu bersifat mengatur dan memaksa;
  4. Sanksi hukum tegas dan bersifak fisik;
  5. Tujuan hukum untuk mencapai ketertiban, kepastian, dan keadilan.

     Subekti mengatakan, bahwa tujuan hukum itu adalah mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya adalah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyatnya. Tujuan negara tersebut harus diimbangi oleh hukum demi keadilan dan ketertiban dalam dinamika kemasyarakatan.[6] Sementara menurut pendapat dari Vant Kant, tujuan dari pada hukum adalah menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan itu tidak dapat diganggu, hukum juga menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap dirinya. Tiap perkara harus diselesaikan melalui proses pengadilan dengan perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

     Selanjutnya menurut Jeremy Bentham  dalam teorinya (teori utilitis) mengemukakan bahwa hukum bertujuan untuk mencapai kefaedahan atau kemanfaatan. Artinya hukum itu bertujuan untuk menjamin kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang ataupun masyarakat.

     Menurut Satjipto Rahardjo, tujuan hukum yang paling utama adalah membimbing manusia pada kehidupan yang baik, aman, tenteram, adil, damai dan penuh kasih sayang. Pada hakikatnya tujuan hukum menghendaki keseimbangan kepentingan, ketertiban, keadilan, ketentraman, kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan bagi setiap manusia.

     Hukum menghendaki pelayanan kepentingan setiap orang, baik secara individual maupun kelompok tidak diganggu oleh orang atau kelompok lain yang selalu menonjolkan kepentingan pribadinya atau kepentingan kelompoknya, sehingga pada intinya tujuan hukum adalah terciptanya kebenaran dan keadilan. Tujuan Hukum yang pokok yaitu untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu, hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antarperorangan di dalam masyarakat, membangun wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum, serta memelihara kepastian hukum.

D.1.2 Hukum Tata Negara

     Hukum Tata Negara pada dasarnya adalah hukum yang mengatur organisasi kekuasaan suatu negara beserta segala aspek yang berkaitan dengan organisasi negara tersebut. Sehubungan dengan itu dalam lingkungan Hukum Ketatanegaraan dikenal berbagai istilah yaitu: di Belanda umumnya memakai istilah “staatsrech” yang dibagi menjadi staatsrech in ruimere zin (dalam arti luas) dan staatsrech In engere zin (dalam arti luas). Staatsrech in ruimere zin adalah Hukum Negara. Sedangkan staatsrech in engere zin adalah hukum yang membedakan Hukum Tata Negara dari Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Tata Pemerintah, di Inggris pada umumnya memakai istilah “Contitusional Law”, penggunaan istilah tersebut didasarkan atas alasan bahwa dalam Hukum Tata Negara unsur konstitusi yang lebih menonjol, di Perancis orang mempergunakan istilah “Droit Constitutionnel” yang di lawankan dengan “Droit Administrative”, dimana titik tolaknya adalah untuk membedakan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Aministrasi Negara, sedangkan di Jerman mempergunakan istilah Verfassungsrecht: Hukum Tata Negara dan Verwassungsrecht: Hukum Administrasi negara.

     Para sarjana hukum memiliki pengertian mengenai apa itu hukum tata negara, yaitu:

  1. V Dicey

Dalam bukunya “An introduction the study of the law of the consrtitution” ia menyatakan bahwa hukum tata negara adalah hukum yang terletak pada pembagian kekuasaan dalam negara dan pelaksanaan yang tertinggi dalam suatu negara.[7]

  1. Jimly Asshiddiqie

Hukum tata negara merupakan cabang ilmu hukum yang mempelajari prinsip-prinsip dan norma-norma hukum yang tertuang secara tertulis ataupun yang hidup dalam praktek ketatanegaraan yang berkenaan dengan:

  1. Konstitusi yang berisi kesepakatan kolektif suatu komunitas rakyat mengenai cita-cita hidup bersama dalam sautu negara;
  2. Institusi-institusi kekuasaaan negara berserta fungsi-fungsinya;
  3. Mekanisme hubungan antar institusi itu, serta;
  4. Prinsip-prinsip hubungan antara institusi kekuasaan dengan warga negara.
  5. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim

dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia” memberikan pengertian tentang hukum tata negara sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi dari negara, hubungan antar alat pelengkap negara baik dalam garis vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warga negara dan hal-hak asasinya.

  1. Geogrge Whitecross Paton

dalam bukunya Textbook of Jurisprudence merumuskan bahwa Hukum Tata Negara dianggap sebagai cabang ilmu yang dapat dipakai untuk pelbagai macam kegunaan hukum yang menentukn organisasi, kekuasaan, dan tugas-tugas otoritas administrasi.[8]

     Dari beberapa definisi yang disampaikan diatas, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan, yaitu:

  1. Hukum tata negara adalah ilmu yang termasuk cabang dari ilmu hukum, yaitu hukum kenegaraan yang berada didalam ranah hukum publik;
  2. Definisi hukum tata negara telah dikembangkan oleh para ahli/sarjana hukum sehingga tidak hanya mencakup kajian mengenai organ negara, fungsi dan mekanisme, tetapi mencakup pula persoalan-persoalan yang terkait dengan mekanisme hubungan antara organ-organ negara tersebut dengan warga negara
  3. Hukum tata negara tidak hanya merupakan recht atau hukum apalagi hanya sebagai wet atau norma hukum tertulis, tetapi juga lehre atau teori sehingga pengertiannya mencakup apa yang disebut sebagai Verfassungsrecht (hukum konstitusi) dan sekaligus Verfassungslehre (teori konstitusi);
  4. Hukum tata negara dalam arti luas mencakup baik hukum yang mempelajari negara dalam keadaan diam (staat in rust) maupun mempelajari negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging).[9]

D.1.3 Negara Hukum

     Istilah rechtstaat (negara hukum) merupakan istilah baru jika dibandingkan dengan istilah demokrasi, konstitusi maupun kedaulatan rakyat. Para ahli memberikan pengertian terhadap negara hukum. R. Soepomo misalnya, memberikan pengertian terhadap negara hukum sebagai negara yang tunduk pada hukum, peraturan-peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan dan alat-alat pelengkap negara. Negara hukum juga akan menjamin tertib hukum dalam masyarakat yang artinya memberikan perlindungan hukum, antara hukum dan kekuasaan ada hubungan timbal balik[10]. Senada dengan Soepomo, Arief Sidharta menyatakan negara hukum sebagai negara yang penyelenggaraan pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan bersaranakan hukum yang berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas dasar sebagai asas-asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilai pemerintahan dan perilaku pejabat pemerintahan.

     Teori negara hukum merupakan gagasan yang muncul untuk menentang konsep absolutisme yang telah melahirkan negara kekuasaan. Untuk jamannya, negara hukum dapat disebut revolusioner, karena mengakhiri bentuk negara yang sebelumnya yang bersifat otoriter (“L’etat s’est moi”=negara adalah saya).[11] Padahal pada pokoknya kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang-wenang. Pembatasan itu dilakukan dengan jalan adanya supermasi hukum, yaitu bahwa segala tindakan penguasa tidak boleh sekehendak hatinya tetapi harus berdasarkan dan berakar pada hukum, menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku da untuk itu juga harus ada pembagian kekuasaan negara, khususnya kekuasaan yudikatif harus dipisahkan dari penguasa.

     Bila dilihat kebelakang, paham negara hukum sebetulnya merupakan konsep yang sudah lama menjadi disccourse para ahli. Plato mengemukakan konsep nomoi yang dapat dianggap sebagai cikal bakal pemikiran tentang negara hukum. Aristoteles mengemukakan ide negara hukum yang dikaitkan dengan arti negara yang dalam perumusannnya masih terkait dengan polis. Bagi Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaannlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.[12]

     Dilihat dan fungsi dan tujuan negara, maka tipe negara hukum dapt dibedakan dalam negara hukum formil (klasik) ialah negara yang tugasnya hanya menjaga agar jangan sampai ada pelanggaran terhadap ketentraman dan ketertiban umum dan negara hukum materiil (welfare state) ialah negara yang tugasnya tidak hanya menjaga keamanan dan ketertiban tetapi juga mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

     Menurut M. Tahir Azhary, dalam kepustakaan ditemukan lima konsep negara hukum, yakni: (1) Negara Hukum Nomokrasi Islam yang diterapkan dinegara-negara Islam; (2) Negara Hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechstaat; (3) Konsep Negara Hukum rule of law yang diterapkan dinegara-negara Anglo-Saxon; (4) Negara Hukum Sosialist yang diterapkan dinegara-negara komunis; (5) Konsep Negara Hukum Pancasila[13]

     Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa paling tidak ada 11 prinsip pokok yang terkandung dalam Negara Hukum yang demokratis, yakni: (1) adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama; (2) pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan/pluralitas; (3) adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; (4) adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan yang ditaati bersama itu; (5) pengakuan dan penghormatan terhadap HAM; (6) pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraaaan antar lembaga negara baik secara vertikal maupun horizontal; (7) adanya peradilan yang bersifat independen dan tidak memihak dengan kewibawaan putusan tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran; (8) dibentuk lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat administrasi negara); (9) adanya mekanisme “judicial review” oleh lembaga peradilan terhadap norma-norma ketentuan legislatif baik yang ditetapkan lebaga legislatif maupun eksekutif; (10) dibuatnya konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip tersebut diatas, disertai (11) pengakuan terhadap asas legalitas atau “due process of law” dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara.[14]

D.1.4 Check And Balances

     Sebagaimana telah dikemukakan mengenai negara hukum, pada bagian selanjutnya dibahas mengenai Check and Balances sebagai salah satu prinsip dari negara hukum, John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan. Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.

     Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan penyalahgunaan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi manusia dijamin. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.

     Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dapat dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang merdeka, hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban despotis kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara. Dalam doktrin Trias Politica, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan. Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaiakan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam kehidupan sebuah negara. Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.

D.2 KERANGKA KONSEP

Untuk mengengetahui maksud yang terkandung dari judul Rancangan Proposal ini perlu diperhatikan beberapa konsep sebagai berikut:

  1. UUD 1945 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Presiden adalah Presiden Republik Indonesia.
  3. MK atau Mahkamah adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
  4. DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
  5. Pendapat DPR adalah Pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden Republik Indonesia.
  6. Penghianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
  7. Korupsi adalah tindak pidana korupasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
  8. Penyuapan adalah tindak pidana penyuapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
  9. Tindak pidana berat lainnya adalah Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
  10. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
  11. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaiman ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945 dan Undang-Undang yang terkait.
  12. Panitera adalah Panitera Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia[15]
  13. MPR adalah Majelias Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
  14. Ketetapan MPR/TAP MPR adalah bentuk putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan (beschikking).

 

E. METODE PENELITIAN

Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah:

  1. Jenis Penelitian Normatif

     Jenis Penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian hukum normatif (legal research) atau disebut juga dengan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

  1. Pengumpulan Data Sekunder

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan sumber utama yang dijadikan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu peraturan perundang-undangan antara lain:

  1. Undang-Undang Dasar 1945 (Sebelum amandemen dan Sesudah amandemen),
  2. Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara,
  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
  5. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang mempunyai fungsi untuk memberi, menambah atau memperkuat penjelasan terhadap bahan hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder dalam penelitian ini antara lain adalah buku-buku yang berkaitan dengan Tata Negara dan Impeachment, makalah-makalah, serta pendapat para ahli dalam berbagai literature lain yang berhubungan dengan materi penelitian ini.

 c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier merupakan bahan hukum yang berfungsi memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti contohnya: kamus bahasa Indonesia, kamus hukum, dan/atau ensiklopedia yang dapat membantu penelitian ini.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I: Merupakan bagian dari Pendahuluan, yang terdiri dari:

  1.  Latar Belakang
  2.  Pokok Masalah
  3.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
  4.  Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
  5.  Metode Penelitian

BAB II: Merupakan bagian dari Tinjauan Umum yang menguraikan tentang apa itu Pemakzulan (impeachment) Presiden secara luas, yang terdiri dari:

  1. Pengertian pemakzulan (impeachment)
  2. Sejarah dan latar belakang Pemakzulan (impeachment)
  3. Perbandingan pemakzulan (impeachment) terhadap Negara-Negara dengan sistem pemerintahan presidensiil dan parlementer
  4. Pejabat-Pejabat Negara yang yang dapat dimakzulkan (impeach)

BAB III: Menguraikan tentang Pemakzulan (impeachment) di Indonesia, yang terdiri dari:

  1. Pemakzulan (Impeachment) di Indonesia
  2. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam suatu mekanisme Pemakzulan (impeachment) menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah amandemen
  3. Hubungan Presiden dengan lembaga-lembaga lain dalam proses Pemakzulan (impeachment)
  4. Alasan-alasan dilakukannya Pemakzulan (impeachment)

BAB IV: Merupakan bagian yang menganalisa pokok permasalahan yang disajikan. Yaitu, Mekanisme pelaksanaan Pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden menurut UUD, mekanisme Presiden untuk membela diri terhadap dakwaan yang dituduhkan, dan sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pemakzulan (impeachment)

BAB V: Merupakan bagian akhir penutup dari rancangan Proposal ini, menjelaskan mengenai apa-apa saja yang ditemukan dalam suatu penelitian dan intisari-intisari yang akan dimuat dalam bagian, yang terdiri:

a. Kesimpulan

Berisikan mengenai garis-garis besar atau ikhtisar dari materi ini.

b. Saran

Berisikan solusi yang dikemukakan oleh penulis terhadap suatu permasalahan yang timbul maupun yang akan timbul dikemudian hari, yang berhubungan dengan materi ini.

 

G. DAFTAR PUSTAKA

BUKU

A.Mukthie Fadjar. Tipe Negara Hukum. Malang: Bayu Media dan In-   Trans, 2004.

Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:     RajaGrafindo Persada, 2014.

Bagir Manan. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: FH UII Press, 2003.

Hamdan Zoelva. Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana             Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press.     2005

Jimly Asshiddiqie. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Jakarta:      Konpress, 2005.

Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: RajaGrafindo            Persada, 2006.

M.Tahir Azhari. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya             dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara     Madinah dan Masa Kini. Jakarta: Kencana, 2003.

Mahfud MD. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.   Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2007.

Margarito Kamis. Pembatasan Kekuasaan Presiden. Malang: Setara Press,         2014.

Satjipto Rahardjo. Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya.     Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

Sirajuddin dan Winardi. Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia. Malang: Setara Press, 2015.

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press, 1986.

Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty. 2003

INTERNET

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17823/3/Chapter%20II.pdf. Diakses pada tanggal 25 oktober 2015

http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-1019-1835101413-tesis%20ilmu%20hukum.pdf. Diakses pada tanggal 24 oktober 2015

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/KI_Impeachment.pdf. Diakses pada tanggal 24 oktober 2015

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab1-pengertian_dan_tujuan_hukum.pdf. Diakses pada tanggal 1 November 2015

http://tesisdisertasi.blogspot.co.id/2014/09/pengertian-hukum-tata-negara-menurut.html. Diakses pada tanggal 2 November 2015

Footnote / Catatan kaki

[1] Bagir Manan, 2003. Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta; FH UII Press

[2] http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17823/3/Chapter%20II.pdf

[3] Mahfud MD, Moh, SH. Prof. DR. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2007

[4]http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-1019-1835101413-tesis%20ilmu%20hukum.pdf

[5] Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty. 2003

[6]http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/aspek_hukum_dalam_bisnis/bab1-pengertian_dan_tujuan_hukum.pdf

[7] Jimly Asshiddiqie, 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, hlm 24

[8]http://tesisdisertasi.blogspot.co.id/2014/09/pengertian-hukum-tata-negara-menurut.html

[9]Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: RajaGrafindo  Persada, 2006.

[10] Pendapat Soepomo dikutip oleh A.Mukthie Fadjar, 2004. Tipe Negara Hukum, Malang: Bayu Media dan In-Trans, hlm 7

[11] Satjipto Rahardjo, 2009. Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, hlm. 17

[12] Sirajuddin dan Winardi, 2015. Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang: Setara Press, hlm 24

[13] M.Tahir Azhary, 2003. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Kencana, hlm 83-84

[14] Jimly Asshiddiqie, 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Jakarta: Konpress, hlm 299-300

[15] Lihat Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 (Pasal 1)

 
Leave a comment

Posted by on 21 August 2016 in Tak Berkategori

 

Hukum Kontrak: Misi Perancangan Kontrak (Ringkasan Buku: Ricardo Simanjuntak. Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Jakarta: Kontan Publishing. 2011)

BAB 7

MISI PERANCANGAN KONTRAK

Seorang perancang kontrak (contract drafter) yang baik mempunyai tiga misi besar yang harus dicapai dalam perancangan kontrak, yaitu :

  • Secara maksimal mengakomodasi perlindungan haknya/hak orang yang diwakilinya dalam kontrak.

Keberhasilan dari kontrak antara lain ditentukan oleh keberhasilan proses perancangan dan negosiasinya yang akhirnya akan menghasilkan benttuk kesepakatan yang secara maksimal dapat mengakomodasi perlindungan hak dan kepentingan masing-masing pihak berkontrak. Artinya, jika salah satu pihak yang berkontrak adalah pihak yang diwakili seorang contract drafter atau pihak berkontrak adalah contract drafter itu sendiri, paling tidak harus dapat dipastikan bahwa perlindungan hak dari orang telah dapat dilakukan secara maksimal ketika kontrak dirancang dan disepakati, bukan ketika permasalahan telah timbul dari kontrak yang telah disepakati tersebut kemudian.

Dalam posisinya sebagai seorang contract drafter, upaya untuk memaksimalisasi perlindungan hak akan sangat tergantung pada jenis kontrak apa yang akan dirancangnya, dan sebagai apa dia atau orang yang diwakilinya dalam kontrak tersebut. Artinya, sebagai pihak, dalam posisi apa pun dia atau orang yang diwakilinya dalam kontrak, maka ke arah itulah upaya maksimalisasi perlindungan hak dikonsentrasikan.

  • Menghindari / meminimalisasi potensi masalah (antara lain dari penggunaan terminologi)

Pentingnya penggunaan kata-kata atau kalimat yang sederhana, jelas dan mudah dimengerti juga digambarkan dalam Pasal 1342 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut :

“Jika kata-kata perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.”

Dari ketentuan di atas, sangat tegas digambarkan tentang pentingnya penggunaan kata-kata yang sangat jelas atau yang tidak membingungkan. Walaupun dalam pasal 1343 dan 1344 KUH Perdata juga diatur tata cara penafsiran dari kata-kata yang mengandung pengertian ganda apalagi penggunaan kata-kata multiinterpretasi dengan cara agar pengertiannya disesuaikan dengan maksud sebenarnya dari para pihak yang berkontrak, atau lebih diarahkan pada pengertian yang memungkinkan janji itu untuk di laksanakan, hal ini tidak selalu mudah dilakukan mengingat masing-masing pihak berkontrak akan selalu berupaya menarik pengertian dari kata-kata yang rumit ke dalam maksud dan pengertian mereka.

Keadaan ini akan sangat berpotensi menciptakan sengketa dikemudian hari setelah kontrak ditandatangani. Jika sengketa tersebut telah terjadi akan sangat sulit untuk menanyakan apa sebenarnya maksud dari para pihak terhadap penggunaan kata ataupun kalimat yang mempunyai pengertian ganda tersebut, karena dalam keadaan berperkara besar kemungkinan mesing-masing pihak akan menerjemahkan kata-kata ataupun kalimat yang menjadi dasar persoalan tersebut sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing untuk memenangkan perkara yang berjalan.

Oleh karena itulah, seorang perancang kontrak yang baik akan selalu berusaha meminimalisasi potensi konflik dari kontrak yang dirancangnya. Antara lain dengan menggunakan kata-kata atau kalimat yang sederhana tegas dan jelas, dan tidak bertele-tele yang membuat kedua pihak yang berkontrak sama-sama mengerti maksud sebenarnya dari perikata-perikatan, sehingga akan meminimalisasi potensi hadirnya konflik dari penggunaan kata-kata dalam kontrak.

  • Meminimalisasi risiko biaya dalan hal sengketa tidak dapat dihindarkan

Walaupun kontrak telah dirancang dengan sangat baik, memang tidak menjamin akan terhindar sama sekali dari potensi terjadinya sengketa/konflik. Artinya, seluruh rancangan kontrak yang dibuat sangat baik akan dibuktikan dalam pelaksanaannya, hingga seluruh hak dan kewajiban terpenuhi dengan sempurna pada waktu dan tata cara yang disepakati oleh pihak-pihak berkontrak. Potensi konflik hanya dapat diminimalkan, tetapi sangat sulit kiranya untuk sama sekali dihilangkan. Untuk itulah, di mata seorang perancang kontrak, kontrak-kontrak akan tetap dirancangnya sampai pada asumsi kemungkinan nantinya kontrak terjadi sengketa yang tidak dapat diselesaikan lagi secara kekeluargaan atau secara damai. Sehubungan dengan itu, kewenangan Pengadilan Negeri dalam hal ini merupakan salah satu perhatian dari seorang perancang kontrak untuk masalah sengketa kontraknya tersebut.

Kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan memutus gugatan ini didasarkan oleh domisili tergugat (Pasal 118 HIR) menjadi dasar bagi seorang perancang kontrak untuk sejak awal memastikan wilayah hukum berperkara dalam hal terjadinya sengketa perdata antara pihak berkontrak. Artinya, domisili dari pihak-pihak yang berkontrak akan sangat penting kiranya untuk diketahui, apakah berperkara pada wilayah hukum dari pihak tergugat akan dapat diterima atau wilayah berperkara akan dipindahkan ke pengadilan di mana pihak yang diwakili oleh perancang kontrak berdomisili. Kesalahan pada pemilihan domisili hukum berperkara di pengadilan akan mengakibatkan persoalan / risiko tersendiri, khususnya dalam biaya berperkara yang cenderunng akan keluar di luar dugaan. Misalnya, dimana A melakukan kontrak jual beli dengan B selaku pembeli, tetapi dalam kontrak tersebut A tidak begitu memperhatikan domili hukum B yang menurut Anggaran Dasarnya berada di Pontianak, Kalimantan, tetapi yang ia ketahui bahwa B hanya mencantumkan alamat kantornya di Jakarta Selatan dimana sama dengan domisili hukum A.

Maka dalam hal B melakukan wanprestasi selaku pembeli. A mengajukan gugatan perdata terhadap B di Pengadilan Jakarta Selatan berdasarkan alamat kantornya B. Ternyata terhadap gugatan B mengajukan eksepsi dengan membuktikan bahwa domisli hukumnya bukan lah di Jakarta Selatan melainkan di Pontianak, Kalimantan. Maka dari contoh kasus diatas dapat dibayangkan bagaimana kerugian yang akan ditanggung  A selaku pihak penggugat yang hanya dapat mengajukan gugatannya ke Pengadilan Pontianak.

Tentu dalam hal ini biaya yang seharusnya dikeluarkan tidak terlalu besar karena ketidakjelihan dalam memperhatikan domisili hukum pihak berkontrak. A jadi membutuhkan biaya yang lebih besar dari segi transportasi dari Jakarta ke Pontianak untuk selama berperkara jika dibandingkan bila gugatan diajukan di Pengadilan Jakarta Selatan yang sebenarnya sangat dekat dengan kedudukan hukum A.

Selanjutnya akan diterangkan mengenai ketentuan-ketentuan di dalam kontrak di bawah ini :

Kontrak Tidak Mempunyai Bentuk Yang Baku

Dalam perancangannya kontrak tidak mempunyai ukuran tertentu dari jumlah kata-kata atau klausul yang akan digunakan. Begitu  juga pada susunan perikatan-perikatan yang akan disepakati dan ukuran kertas yang digunakan sebagai media dari kontrak. Artinya, walaupun disajikan dalm bentuk susunan yang tidak lazim, kontrak tetap sah dan mengikat kedua belah pihak sepanjang kontrak tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai “Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian”.

Meskipun dari sisi format, kontrak pada dasarnya tidak mempunyai gambaran maksimum tentang berapa pasal, atau berapa tebalnya kontrak yang harus dirancang untuk objek perikatan tertentu. Namun, dapatlah di ukur bahwa kontrak yang paling baik tidak harus mempunyai hal-hal minimum yang wajib dipenuhi. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip, penulis berpendapat bahwa pada kontrak yang baik paling tidak berisikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

  • Judul Kontrak

Judul sangat diperlukan sebagai identitas yang menggambarkan maksud dan area yang akan disepakati para pihak, umumnya judul kontak tidak berbeda dengan isi kesepakatan kontrak.

  • Hari dan Tanggal Penandatanganan Kontrak

Tanggal ini akan menentukan kapan kontrak disepakati para pihak dan kapan mulai menjadi berlaku untuk mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak.

  • Para Pihak yang Berkontrak

Tanpa subjek kontrak, kontrak tidak ada. Bila dihubungkan dengan syarat kedua Pasal 1320 KUH Perdata, lebih jauh ditegaskan bahwa para pihak haruslah mempunyai kejelasan status hukum dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum ,baik perorangan (natural entity) maupun badan hukum (legal entity).

  • Latar Belakang Atau Pertimbangan Yang Mendasari Terjadinya Kontrak

Banyak contract drafter atau para pihak berkontrak merasa perlu menerangkan latar belakang masing-masing pihak dalam melakukan kontrak. Walaupun tidak merupakan bagian perikatan dari kontrak, tapi faktanya yang dihadirkan dalan konsiderans sangat penting kiranya bagi pengenalan dasar dari kehadiran kontrak itu sendiri. Khususnya bagi pihak ketiga yang akan lebih mudah mengenal kontrak dan maksud-maksud para pihak untuk besedia masuk ke dalam kontrak dengan cara bagian pembuka atau konsiderans dari kontrak.

  • Klausul Definisi

Untuk menghindari potensi konflik dari perbedaan interpretasi, dalam banyak kontrak kesepakatan yang paling awal di buat adalah kesepakatan terhadap pemahaman terminologi-terminologi khusus. Mengingat upaya aktivitas bisnis sangat menuntut kepercayaan dan sangat menghindarkan potensi konflik sekecil apapun, maka penulis berpendapat bahwa klausul “definisi” sangat penting untuk dimasukkan dalam format kontrak yang baik untuk sebisa mugkin memperkecil potensi-potensi konflik yang sangat tidak di inginkan dalam dunia bisnis.

  • Gambaran Pokok Yang Diperjanjikan

Kejelasan tentang hal atau pokok yang diperjanjikan oleh para pihak dalam kontrak adalah persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh para pihak berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika hal ini tidak dipenuhinya maka kontrak batal demi hukum. Pengertian dari kejelasan pokok perjanjian akan sangat bergantung pada jenis atau bentuk-bentuk pokok yang diperjanjikan. Dapat saja hal itu merupakan benda yang berwujud, atau tidak berwujud, dapat dihitung, atau tidak dapat dihitung dan lain-lain.

  • Hak Dan Kewajiban Para Pihak Yang Berkontrak

Bagian ini sangat ditentukan oleh poin-poin yang dipikirkan dan diyakini kedua belah pihak yang dapat melindungi kepentingan mereka masing-masing secara maksimal. Misal dalam kontrak jual beli setelah negosiasi dan mencapai kesepakatan, dimana pembeli berkewajiban menyerahkan uang atas barang yang telah disepakati untuk dibeli dan penjual berkewajiban menyerahkan barang tersebut, sedangkan mengenai hak, yaitu dimana pembeli berhak atas barang tersebut dan penjual berhak atas uang tersebut.

  • Hal-Hal atau Peristiwa yang menjadi Ukuran Terjadinya Wanprestasi

Dalam ketentuan Hukum Kontrak Indonesia dengan tegas bahwa pihak yang dirugikan akibat dari tidak terlaksananya kontrak yang telah di sepakatinya, hanya akan dapat menuntut ganti rugi, apabila terbukti pihak lawan berkontraknya telah lalai dalam memenuhi perikatannya, sebagaimana yang termaktub dalm Pasal 1243 KUH Perdata, sebagai berikut : “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dimuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.” Lalai diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata, sebagai berikut : “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ia menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

  • Konsekuensi Telah Terjadinya Wanprestasi

Para pihak memang dapat memperjanjikan kapan terjadinya pelanggaran prestasi atau ingkar janji terjadi, serta akibat yang tegas dari pelanggaran atau ingkar janji untuk membayar seluruh kewajiban yang telah jatuh tempo akibat dari tindakan “lalai” atau “ingkar janji”. Karena dengan memperjanjikan tata cara terjadinya wanprestasi serta juga akibat dari wanprestasi, maka kontrak telah meminimalisasi konflik, dari potensi ketidakpastian dari proses penentuan wanprestasi yang ditentukan secara undang-undang seperti yang diatur dalam Pasal 1238 KUH Pedata.

  • Pilihan Hukum / Pilihan Jurisdiksi / Pilihan Forum, Pilihan Domisili, Dalam Penyelesaian Konflik

Pilihan Hukum/Pilihan Jurisdiksi

Umunya terdapat pada kontrak yang bersifat internasional, yang melibatkan dua pihak dari warga negara yang berbeda. Namun tidak berarti bahwa dua warga negara yang tunduk pada hukum yang sama tidak mempunyai hak untuk melakukan pemilihan hukum negara mana yang mereka rasakan akan menjadi ukuran hukum yang mengatur perjanjian yang mereka sepakati.

Pilihan Domisili

Secara teori menjadi penting bagi para pihak yang berkontrak (dalam hal ini antara sesama WNI), dalam hal untuk menentukan domisili hukum yang menjadi dasar kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan gugatan adalah hal terjadinya dispute antara pihak yang berkontrak.

Forum Arbitrase

Dikarenakan penyelesaian perkara di pengadilan umunya memakan waktu yang lama dan keterikatan pelaksanaan hukum acara pemeriksaan perkara dipengadilan pada formalitas pembuktian dan prinsip untuk meminimalisasi potensi konflik antar pelaku bisnis, membuat banyak kalangan pelaku usaha memilih menyelesaikan konflik yang terjadi dengan mitra kontraknya melalui Lembaga Arbitrase. Hal ini dikarenakan perkara yang diputuskan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) bersifat final dan mengikat kedua belah pihak yang bersengketa.

  • Force Majeure

Adalah suatu keadaan yang luar biasa yang berada di luar dari kekuasaan ataupun kemampuan normal manusia untuk mengatasinya, yang telah menimbulkan ketidakmampuan bagi pihak tersebut untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati dalam suatu kontrak.

  • Komunikasi Perubahan dan Penambahan Kontrak

Kontrak yang telah disepakati dan memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tidak dapat dilakukan perubahan secara sepihak atas  alasan apapun tanpa persetujuan dari pihak mitra berkontraknya. Yang artinya bahwa “perjanjian ini dapat diubah hanya dengan persetujuan tertulis dari debitur dan kreditur. Perubahan akan diatur dalam perjanjian yang merupakan bagian dan menjadi kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dari perjanjian, dan karenanya seluruh ketentuan dalam perjanjian tetap berlaku pada perjanjian perubahan kecuali untuk hal-hal yang disepakati untuk dirubah.”

  • Pemberitahuan dan Komunikasi

Komunikasi merupakan bagian yang penting dalam aktivitas berkontrak. Komunikasi tersebut dapat berisikan informasi-informasi atau instruksi sehubungan dengan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang telah disepakati, akan tetapi dapat juga merupakan pemberitahuan ataupun susulan perubahan terhadap kontrak tersebut.

  • Tanda Tangan Para Pihak

Kesepakatan dari para pihak yang berkontrak akan direfleksikan dengan penandatanganan kontrak tersebut oleh pihak-pihak yang berkapasitas ataupun berwenang. Akan tetapi, dalam prakteknya, tidak semua pembuktian adanya persetujuan didasarkan dari penandatanganan dari suatu kontrak, karena sepanjang disepakati, dapat saja persetujuan para pihak terhadap kontrak tidak direfleksikan dengan tandatangan, misalnya ketika masing-masing pihak yang berkontrak ataupun salah satu dari mereka adalah buta huruf ataupun tidak bisa menandatangani, maka alternatif lain yang dimungkinkan dapat dilakukan dengan membubuhkan cap ibu jari.

  • Saksi-saksi

Saksi-saksi adalah pihak yang secara teori dibutuhkan dalam suatu kontrak bisnis apa bila kontrak tersebut diatur menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Saksi-saksi tersebut secara hukum dibutuhkan untuk mempersaksikan ataupun sebagai bagian dari alat bukti yang dimaksud dalam pasal 1866 KUH Perdata untuk membuktikan apakah kontrak tersebut telah dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang ada. Jumlah saksi dalam kontrak tersebut sebaiknya minimal dua orang untuk memenuhi persyaratan minimal dua saksi seperti yang diatur dalan pasl 1905 KUH Perdata dan pasal 169 HIR. Sehubungan dengan upaya pembuktian melalui tulisan yang oleh pasal 1888 KUH Perdata harus diajukan dalam bentuk bukti tulisan asli, maka umumnya , dalam perancangan kontrak, kontrak-kontrak yang telah disepakati dan akan ditandatangani tersebut akan disediakan dalam dua rangkap kontrak atau dibuat sebanyak jumlah masing-masing pihak yang berkontrak, dengan dibutuhkan materai secukupnya dan masing-masing pihak yang berkontrak, dengan dibubuhkan materai secukupnya dan masing-masing dari dokumen tersebut dinyatakan dinyatakan sebagai dokumen asli dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sama.

  •  Beberapa Variasi Sistematika Kontrak

Bentuk-bentuk klausula kontrak yang telah dijelaskan di atas merupakan bentuk yang pada umunya hadir dalam perancangan suatu kontrak. Sesuai dengan kebutuhannya, maka detail ataupun tatacara dari masing-masing pihak yang berkontrak untuk memaksimalkan perlindungan terhadap dirinya  akan mempengaruhi bentuk-bentuk kontrak yang dihadirkan oleh pihak yang menyepakatinya berdasarkan azas keterbukaan yang dimilikinya. Akan tetapi sebaliknya, bentuk-bentuk lainnya dihadirkan dengan rangkaian perikatan yang sangat detail.

           

 
Leave a comment

Posted by on 21 August 2016 in Tak Berkategori

 

KEDUDUKAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN

Lembaga Negara Independen

            Lembaga Negara Independen adalah lembaga yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga kekuasaan sesuai trias politica. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga baru ini, antara lain state auxiliary institutions atau state auxiliary organs yang berarti institusi atau organ negara penunjang, kemudian ada pula yang menyebutnya lembaga negara sampiran, lembaga negara bantu, ataupun komisi negara.[1] Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman. Hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga negara, seperti apa yang pernah dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sebuah putusan yang menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kelahiran lembaga-lembaga negara baru dalam berbagai bentuk merupakan sebuah konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna menjalankan prinsip check and balances. Maraknya pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru juga karena tekanan internal yang di Indonesia berupa kuatnya reformasi politik, hukum, dan sistem kemasyarakatan secara politis dan hukum telah menyebabkan dekosentrasi kekuasaan negara dan reposisi atau restrukturisasi dalam sistem ketatanegaraan. Secara eksternal berupa fenomena gerakan arus global pasar bebas, demokratisasi, dan gerakan hak asasi manusia internasional.[2] Mahkamah Konstitusi juga menyatakan Istilah “lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang. Jimly Asshiddiqie menyatakan, berdasarkan “Teori Norma Sumber Legitimasi” yaitu alat-alat perlengkapan Negara di kelompokkan menurut bentuk norma hukum yang menjadi sumber atau pemberi kewenangan kepada lembaga yang terkait. Di tingkat pusat pengelompokkan lembaga-lembaga Negara dalam beberapa pembagian salah satunya ada yang terbagi atas “lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang” yang di mana proses pemberian kewenangan kepada lembaga-lembaga ini melibatkan suatu peran DPR dan Presiden. Oleh karena itu implikasi dari proses tersebut, dalam hal pembubaran atau perubahan bentuk dan kewenangan lembaga semacam ini juga kembali melibatkan DPR dan Presiden.[3] Berikutnya, Romli Atmasasmita juga berpendapat bahwa sistem ketatanegaraan tidak dapat diartikan hanya secara normatif (hanya dari sudut ketentuan konstitusi) tetapi juga dapat diartikan secara luas karena tidak semua lembaga negara diatur dalam konstitusi. Apabila suatu lembaga negara tidak ditempatkan di dalam UUD Negara RI 1945, bukan berarti lembaga negara tersebut tidak mempunyai kedudukan hukum atau inkonstitusional, karena sifat konstitusional suatu lembaga dapat dilihat dari fungsinya dalam melaksanakan tugas dan wewenang atas nama negara. Dengan demikian, keberadaan dan kedudukan lembaga negara ada yang tercantum di dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan ada pula yang tidak tercantum dalam UUD 1945 melainkan dibentuk berdasarkan undang-undang, termasuk KPK sebagai lembaga negara Independen.[4] Pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia (dalam hal ini KPK) menurut Luthfie Yazid juga dilandasi atas beberapa hal penting, yakni: pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang ada sebelumnya akibat adanya asumsi (adanya bukti) mengenai korupsi yang sistematik, mengakar dan sulit untuk diberantas; kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang telah ada sebelumnya karena alasan-alasan tertentu atau tunduk pada kekuasaan tertentu (power); ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang seharusnya dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal; keempat, adanya pengaruh global yang menunjukkan kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut sebagai lembaga negara mandiri atau lembaga pengawas yang dianggap sebagai kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang sudah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki; kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.[5]

KPK Lembaga Independen yang dinilai “Superbody” dan “ekstrakonstitusional” ?

            Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang dibentuk sebagai salah satu bagian dari agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Walaupun bersifat independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan eksekutif dalam kaitannya pada masalah keorganisasian, lalu memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana korupsi, namun dalam perkembangannya keberadaan dan kedudukan KPK dalam struktur ketatanegaraan Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak. Tugas, wewenang, dan kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang membuat komisi ini terkesan menyerupai sebuah  lembaga “superbody” dan berpotensi “abuse of power”. Sebagai lembaga negara yang nama nya tidak tercantum dalam UUD Negara RI Tahun 1945, KPK dianggap oleh sebagian pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional. Akibat beberapa anggapan tersebut beberapa orang sebagai pemohon mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, mempersoalkan eksistensi KPK dengan menghadapkan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20 Undang-Undang KPK dengan pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tentang Indonesia adalah Negara hukum. Mereka berpendapat bahwa ketiga pasal Undang-undang KPK tersebut bertentangan dengan konsep negara di dalam UUD 1945 yang telah menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat yang secara langsung mendapat fungsi konstitusional dari UUD 1945 yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK dan KY.

            Namun apabila kita cermati, sebenarnya ada beberapa prinsip yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan soal tanggapan miring terhadap KPK tersebut, yaitu: pertama, dalil yang pernah dikemukakan oleh Cicero yaitu, salus populi suprema lex, yang berarti keselamatan rakyat (Negara) adalah hukum yang tertinggi. Jika keselamatan rakyat atau negara sudah terancam karena keadaan yang luar biasa maka tindakan apapun yang sifatnya darurat atau khusus dapat dan harus dilakukan sebagai upaya penyelamatan. Dalam hal ini contohnya, kehadiran KPK dapat kita pandang sebagai suatu hukum atau upaya yang dibuat untuk keselamatan tersebut, keadaan darurat untuk menyelesaikan korupsi yang sudah sangat akut, sudah luar biasa terstruktur dan ditambah dengan kurang berfungsinya penegakan hukum lainnya untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi[6]; kedua, dalam hukum dikenal adanya hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan bersifat khusus (lex specialis). Dalam hukum dikenal asas lex specialis derogate legi generali, yang artinya undang-undang yang bersifat khusus didahulukan keberlakunya daripada undang-undang yang bersifat umum. Yang umum dan khusus itu dapat ditentukan oleh pembuat Undang-Undang sesuai dengan kebutuhan, kecuali apabila UUD 1945 jelas-jelas menentukan sendiri. Dalam kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan perwujudan dari hak legislasi DPR dan pemerintah setelah melihat kenyataan yang menuntut perlunya lembaga itu hadir, yang otomatis melahirkan suatu aturan yang mau tidak mau bersifat khusus (lex specialis) dalam rangka pemberantasan suatu kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), korupsi yang dimana aturan-aturan yang bersifat umum sudah cenderung tidak mempan lagi, baik disebabkan oleh faktor produk hukum yang tidak mampu mengikuti perkembangan kejahatan, atau faktor internal dari lembaga penegak hukumnya sendiri. Oleh sebab itu sederhananya kita katakan, dibutuhkan aturan-aturan (lex specialis) terhadap korupsi yang tidak dapat di berantas dengan aturan-aturan (lex generalis).

            Selanjutnya, mengenai persoalan “abuse of power” yang juga masuk dalam anggapan-anggapan kecurigaan sebagian kalangan mengenai eksistensi KPK, selayaknya hal itu tidak relevan jika hanya dikaitkan dengan keberadaan KPK, abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan bisa terjadi dimana saja (lembaga apapun) atau siapa saja (orang-orang dalam lembaga tersebut),[7] sepanjang orang-orang atau lembaga-lembaga tersebut diberikan suatu “power” maka ia berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya, mengingat apa yang pernah diucapkan oleh Lord Acton “Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely” kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaaan yang mutlak pasti disalahgunakan. Sebaliknya jika diteliti dari dasar dibentuknya sebuah lembaga anti korupsi, KPK justru dihadirkan dengan salah satu tujuannya untuk melawan abuse of power yang terlanjur kronis di negeri kita tercinta, Indonesia. Penyalahgunaan kekuasaan sangat berhubungan dengan kejahatan KKN, akan lebih mudah bagi seseorang untuk melakukan KKN apabila ia memiliki “power”.

Penutup

            Jadi dapat kita ketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai kedudukan sebagai Lembaga Negara Independen, namun ia memiliki kewenangan-kewenangan yang “extra ordinary” adalah sesuai dengan apa yang ia berantas. Dalam hal ini, kejahatan luar biasa hanya bisa diberantas dengan cara-cara yang juga luar biasa. Pandangan yang mengatakan bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah ekstra konstitusional adalah keliru, hal ini mengingat keberadaan lembaga KPK secara tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air. Dengan demikian KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang kerangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Lalu berdasarkan “Teori Norma Sumber Legitimasi” oleh Jimly Asshiddiqie, KPK dapat di kategorikan sebagai “lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang” yang di mana proses pemberian kewenangan kepada lembaga-lembaga ini melibatkan suatu peran DPR dan Presiden. Oleh karena itu implikasi dari proses tersebut, dalam hal pembubaran atau perubahan bentuk dan kewenangan lembaga semacam ini juga kembali melibatkan DPR dan Presiden. Selayak undang-undang pada umumnya, KPK lahir dengan melibatkan peran legislatif dan eksekutif. Dalam batas penalaran yang wajar, melihat praktik korupsi yang begitu sistemik, dukungan politik dalam parlemen menjadi kunci dalam menentukan berhasil-tidaknya agenda pemberantasan korupsi. Sebagaimana diingatkan Jon ST Quah (2013), lemahnya dukungan politik menyebabkan pemberantasan korupsi sulit meraih hasil. Tanpa dukungan politik, jangan pernah berpikir untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Fakta yang dihadapi negeri ini, pemberantasan korupsi hampir selalu diganggu sejumlah kepentingan politik.

Daftar Pustaka

 Buku

  1. Jimly Asshiddiqie, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Pers
  2. Jimly Asshiddiqie, 2008. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: Konpress
  3. Jimly Asshiddiqie. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006.
  4. Refly Harun, 2010. Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Pers
  5. Ridwan HR. 2014. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada
  6. Sirajuddin dan Winardi, 2015. Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang: Setara Press

 Internet

  1. http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/SUPANDRI-FSH.pdf
  2. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=261782&val=908&title=KEDUDUKAN%20KOMISI%20PEMBERANTASAN%20KORUPSI%20SEBAGAI%20LEMBAGA%20NEGARA%20BANTU%20%28STATE%20AUXILIARY%20INSTITUTIONS%29

 

[1]http://download.portalgaruda.org/article.php?article=261782&val=908&title=KEDUDUKAN%20KOMISI%20PEMBERANTASAN%20KORUPSI%20SEBAGAI%20LEMBAGA%20NEGARA%20BANTU%20%28STATE%20AUXILIARY%20INSTITUTIONS%29

[2] Refly Harun, 2010. Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Pers, hlm. 60-61

[3] Jimly Asshiddiqie, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Pers, hlm.26

[4] http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/28153/1/SUPANDRI-FSH.pdf

[5] Sirajuddin dan Winardi, 2015. Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Malang: Setara Press, hlm.183

[6] Jimly Asshiddiqie, 2008. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: Konpress

[7] Ridwan HR. 2014. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada

 
Leave a comment

Posted by on 21 August 2016 in Tak Berkategori